Minggu, 16 September 2012

Kebudayaan


  Kebudayaan   sebagai   hasil   karya,   cipta,   dan   rasa  manusia   dalam   perjalanan sejarahnya dimulai dari yang paling sederhana, berkembang, dan maju terus setahap demi setahap sampai pada yang kompleks dan modern seperti sekarang ini.
Budaya adalah buah pemikiran, akal budi dan daya (kekuatan, kemampuan, atau potensi). Budaya dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi objek (hasil pemikiran/kerja/karya  manusia)  dan kedua  dari sisi sosial kemasyarakatan  (moral, nilai, adat istiadat atau aturan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat/organisasi dan sukar diubah).
Dalam ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keterkaitan antara pola pikir, perilaku,  dan  artefak  pada  suatu  kelompok  etnik  tertentu.  Konsep  ini  kemudian dipinjam oleh ilmu manajemen dan diberlakukan pada kelompok kerja (bukan etnik).
Menurut Edgar H. Schein, budaya adalah suatu pola dari asumsi dasar ketika kelompok  telah mengetahui  bahwa asumsi itu dapat memecahkan  masalah  dalam melakukan  adaptasi  ekstern  dan  integrasi  intern,  dan  telah  berjalan  dengan  baik serta dinyatakan  sebagai  hal yang benar.  Oleh  karena  itu perlu diajarkan  kepada anggota kelompok yang baru bahwa ini merupakan cara yang benar untuk dihayati, dipikirkan, dan dirasakan dan dilaksanakan.  Asumsi dasar tersebut  berupa kebersamaan yang meliputi: a.   kebersamaan atas sesuatu (shared-things), misalnya pakaian seragam; b.  kebersamaan perkataan (shared-saying), misalnya ungkapan, semboyan; c.  kebersamaan   dalam  perbuatan  (shared-doing) misalnya  kerja  bakti,  gotong royong;
d.   kebersamaan  dalam  perasaan  (shared-feeling),  misalnya  ucapan  ulang  tahun, belasungkawa.
Pola  pikir (falsafah,  kepercayaan,  keyakinan,  tahayul)  adalah  acuan  utama yang dijadikan pedoman perilaku oleh seluruh anggota kelompok. Dalam bahasa psikologinya,  disebut kognisi yang berisi belief, attitude, superego, dan sebagainya,yang terdapat dalam diri orang per orang. Perilaku setiap orang dalam kelompok itu akan selalu mengacu pada pola pikir tersebut, sementara semua benda yang dibuat dan digunakan anggota kelompok (mulai alat rumah tangga sampai kelengkapan bersembahyang) disebut artefak. Ketiga unsur kebudayaan ini tidak dapat dilepaskan satu dari yang lain karena pada hakikatnya  ketiganya merupakan  kesatuan.  Orang Amerika  dan  orang  Cina  mempunyai  pola  pikir  yang  berbeda  dalam  hal  makan, sehingga  cara  makan  (perilaku)  dan makanan  serta alat makannya  (artefak)  juga sangat  berbeda.  Orang  Amerika  makan  beef  steak  dengan  pisau  dan  garpu, sedangkan   orang  Cina  makan  bakmi  berkuah  dengan   sumpit  dan  menghirup kuahnya langsung dari mangkuk. Cara makan orang Cina bisa dianggap tidak sopan bagi orang Amerika, sementara cara makan orang Amerika sangat merepotkan bagi orang Cina.
Akan tetapi tidak berarti bahwa orang Amerika tidak bisa diajari untuk makan cara Cina atau sebaliknya. Individu-individu dari kedua kelompok etnik itu bisa saling mempelajari  perilaku etnik yang lain dan mempraktikkannya  dengan menggunakan artefaknya,   tetapi  tidak  harus  mengadopsi   kebudayaannya   itu  sendiri.  Dengan demikian di Jakarta, pengusaha Taiwan menggunakan pisau dan garpu ketika makan beef steak di restoran internasional,  sementara pengusaha Amerika makan dengan sumpit di restoran Cina. Bahkan tidak jarang restoran yang menyediakan pisau-garpu dan  sumpit  sekaligus  untuk  memungkinkan   tamu-tamunya  memilih  sendiri  cara makan yang disukainya.
Sederet contoh dapat dikemukakan  tentang perilaku penyesuaian  (adaptasi) yang  tidak  diikuti  oleh  perubahan  pola  pikir  budaya  itu  sendiri.  Misalnya:  orang Indonesia bisa antre di luar negeri, tetapi tidak antre begitu kembali di negeri sendiri; orang  bisa  tepat   waktu  ketika  mau  berangkat   dengan   pesawat   terbang   atau menonton  bioskop,  tetapi  terlambat  datang  ke  sekolah  atau  kantor.  Begitu  juga (sudah menjadi rahasia umum), turis Arab di Jakarta minum bir dan minta disediakan wanita,  tetapi  kembali  alim  di  negerinya  sendiri.  Sebaliknya,  "senakal-nakal"-nya orang  Indonesia,  akan  sangat  alim  ketika  naik  haji  di Arab  Saudi,  tetapi  kembali "nakal"  begitu  pulang  ke Indonesia.  Demikian  pula tumpukan  sajadah  (salah  satu artefak  dalam  kebudayaan  Islam)  tidak  bermakna  apa-apa  bagi orang  yang  tidak terbiasa sholat (salah satu perilaku muslim), tetapi akan dicari-cari (kalau perlu meminjam  atau membeli ke toko terdekat)  oleh seseorang  yang ingin sholat ketika waktu sholat tiba.Sumber  budaya  yang pertama  berasal  dari hati dan pikiran manusia,  yang kedua  dari  kesadaran  dan  kerelaan  manusia.  Sementara  pelaku  budaya  adalah manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat/organisasi.  
Fungsi dan kegunaan budaya adalah sebagai berikut  : a)  Identitas dan citra suatu masyarakat.
b)   Pengikat suatu masyarakat atau organisasi. 
c. Sumber inspirasi, kebanggaan, dan sumber daya. d)   Kekuatan penggerak/dinamisator.
e. Kemampuan untuk membentuk nilai tambah. f)   Pola perilaku
g)  Warisan dari leluhur. 
h.)Substitusi formalitas (pengganti perintah formal). 
Mekanisme adaptasi terhadap perubahan.
j)   Proses terjadinya bangsa sehingga sama dengan negara. 

Tingkat budaya adalah sebagai berikut.

1) Tingkat pertama (Artifac), yaitu produk/barang, jasa dan tingkah laku anggota masyarakat. Sesuatu   yang dilihat,   didengar,   dirasakan   jika    seseorang berhubungan  dengan suatu  kelompok/masyarakat   baru  dengan  budaya  yang tidak dikenalnya.
2)  Tingkat  kedua (espoused  value),  yaitu nilai-nilai  yang didukung  dengan  alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi/masyarakat untuk mendukung caranya melakukan sesuatu.
3)  Tingkat  ketiga  (basic assumptions),  yaitu keyakinan  yang dianggap  sudah ada oleh suatu anggota organisasi/masyarakat  (sumber nilai, persepsi).

Saksi bisu dalam perjalanan Sejarah Kota Purwakarta


Kota Purwakarta berawal dari kota tradisional dengan kedudukan sebagai ibukota Kabupaten Karawang. Kedudukan dan nama kota itu diresmikan tanggal 20 Juli 1831. Dalam perjalanan sejarahnya Purwakarta berangsur-angsur ber-kembang menjadi kota modern. Sampai saat ini kota Purwakarta telah berusia 174 tahun (1831 – 2005).
Dalam usianya yang sangat tua itu, kota Purwakarta masih memiliki “saksi bisu” yang menyertai perjalanan panjang sejarah kota sampai sekarang. “Saksi bisu” dimaksud khususnya adalah Pendopo, Bumi Ageung, Situ Buleud, Masjid Agung, Gedung Keresidenan, Gedung Kembar, dan Stasion Kereta Api. Bangunan-bangunan dan tempat itu, kecuali Bumi Ageung, merupakan sarana dan fasilitas kota yang menujukkan eksistensi dan perkembangan kota Purwakarta. Pendopo, Bumi Ageung, Situ Buleud, dan Masjid Agung, merupakan “tonggak” sejarah kota Purwakarta, karena dibangun bersamaan dengan berdirinya kota itu, dan keberadaannya masih dapat disaksikan sampai sekarang. Tiga sarana yang disebut terakhir (dibangun pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abag ke-20) merupakan “saksi bisu” perkembangan kota Purwakarta menuju kota modern. Sarana dan fasilitas tersebut memiliki fungsi dan makna penting, baik bagi kegiatan pemerintahan maupun bagi kehidupan sosial budaya.
            Berdasarkan usia dan fungsinya, sarana dan fasilitas tersebut adalah bangunan tua dan tempat (benda) budaya. Pada bagian akhir pemerintahan Hindia Belanda, bangunan-bangunan kuno dan benda budaya mendapat perhatian besar dari pemerintah kolonial. Hal itu dibuktikan dengan pembuatan sekaligus pemberlakuan Monumenten Ordonantie Nomor 19 Tahun 1931 (kemudian diubah menjadi Monumenten Ordonantie Nomor 21 Tahun 1934), yaitu undang-undang perlindungan bangunan-bangunan tua dan benda budaya lainnya. Undang-undang tersebut diwarisi oleh Pemerintah Republik Indonesia, kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB).
            Sangat disayangkan, sekarang kesadaran pemerintah dan masyarakat umumnya untuk merealisasikan undang-undang tersebut, masih rendah. Undang-undang itu belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Hal itu dibuktikan oleh kurangnya perhatian terhadap bangunan-bangunan tua yang tidak difungsikan sebagai kantor instansi pemerintah. Boleh jadi hal itu disebabkan oleh kurangnya kesadaran sejarah pada bangsa kita.
            Bila dipahami secara seksama, sesungguhnya bangunan tua dan tempat bersejarah, selain merupakan Benda Cagar Budaya, juga merupakan objek wisata. Oleh karena itu, sangatlah tepat apabila bangunan-bangunan tua dan tempat bersejarah di kota Purwakarta, dipelihara dan dilestarikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992, tanpa dipermasalahkan, siapa/pihak mana yang berjasa mendirikannya. Walaupun sebagian besar bangunan itu didirikan oleh pihak kolonial, sekarang sudah menjadi milik kita bangsa Indonesia. Perlu dipahami, bahwa kumpulan bangunan tua dalam suatu lingkungan binaan, pada hakekatnya merupakan keindahan suatu kota.

Jumat, 14 September 2012

Sejarah Gedong Kembar Purwakarta



Gedong Kembar adalah sebutan masyarakat pribumi. Disebut demikian, karena bangunan itu terdiri atas dua buah dengan bentuk yang sama dan terletak berdampingan, seperti pintu gerbang. Kapan (tahun berapa) tepatnya kedua bangunan itu didirikan, belum diketahui secara pasti. Namun dapat dipastikan kedua bangunan itu dibuat atas prakarsa pemerintah keresidenan, karena bangunan itu adalah bangunan permanen dengan gaya arsitektur Eropa.
Diduga kedua bangunan itu didirikan pada paruh kedua abad ke-19, setelah kota Purwakarta berkedudukan sebagai ibukota Keresidenan Karawang (sejak 1854). Bila dugaan itu benar, berarti sampai saat ini Gedong Kembar telah berusia lebih-kurang satu abad.
Apa fungsi utama kedua bangunan itu pada masa Hindia Belanda, juga belum diketahui. Namun yang jelas bangunan tersebut merupakan sarana yang turut memperindah kota Purwakarta sebagai ibukota keresidenan. Boleh jadi kedua bangunan itu merupakan pintu gerbang ke arah stasion kereta api.
Menurut cerita seorang tokoh masyarakat Purwakarta, pada perempat pertama abad ke-20, gedung sebalah utara adalah Toko Sepatu “Janam”, toko sepatu terbesar di Purwakarta milik Cina. Pada zaman pendudukan Jepang, gedung sebelah selatan menjadi toko potret milik Jepang (Bratadidjaja, wawancara, 23 Mei 2005 dan Sumantapura, wawancara, 11 Juni 2005).
            Pada zaman revolusi kemerdekaan, gedung sebelah utara difungsikan sebagai Markas BKR. Dalam waktu selanjutnya, Gedung Kembar beberapa kali beralih fungsi, antara lain menjadi toko dan sekretariat koperasi. Gedung sebelah utara pernah menjadi Kantor Polsek Kota Purwkarta, kira-kira tahun 1985 – 1987 (Bratadidjaja, wawancara, 23 Mei 2005).
Walaupun data mengenai fungsi Gedung Kembar dari zaman ke zaman tempo dulu belum banyak ditemukan, namun makna bangunan itu tidak terpisahkan dari perjalanan sejarah kota Purwakarta sampai sekarang. Oleh karena itu, Gedung Kembar pun memiliki nilai sejarah, tetapi nilainya lebih rendah dari nilai sejarah bangunan tua lain di kota Purwakarta, yaitu Pendopo, Gedung Keresidenan, dan Stasion Kereta Api.
            Sekarang kondisi Gedung Kembar sudah mengalami pemugaran tanpa merubah yang menjadi ciri khas  bangunan itu sendiri dan tertata dengan sangat megahnya.  Bahkan pada saat ini gedung kembar yang sebelah utara  digunakan sebagai Kantor  Bupati Purwakarta.  Sedangkan yang sebelah selatan difungsikan sebagai Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta.

Sejarah Keresidenan Purwakarta


Telah disebutkan, bahwa pada awal masa pemerintahan Bupati Sastra Adiningrat I (tahun 1854), Purwakarta menjadi ibukota Keresidenan Karawang. Akan tetapi, untuk beberapa waktu lamanya, residen Karawang tetap berkedudukan di kota Karawang. Dalam waktu tertentu ia datang ke Purwakarta. Hal itu disebabkan di kota Purwakarta belum dibangun gedung keresidenan dan belum ada sarana transportasi yang memadai. Namun demikian, kedudukan kota Purwakarta sebagai pusat pemerintahan keresidenan, telah menimbulkan perubahan situasi kota tersebut. Sejak waktu itu dinamika kehidupan di kota Purwakarta makin mengarah pada kehidupan modern.
            Gedung Keresidenan di Purwakarta baru dibangun sejalan dengan pembangunan jalan kereta api antara Jakarta (Batavia) – Padalarang lewat Purwakarta pada awal abad ke-20. Jalur kereta api Karawang – Purwakarta (41 kilometer) diresmikan tanggal 27 Desember 1902. Jalur itu sampai di Padalarang tahun 1906. Boleh jadi, gedung keresidenan di Purwakarta dibangun sekitar tahun 1902.
            Setelah gedung keresidenan selesai dibangun dan transportasi kereta api Jakarta (Batavia) – Padalarang lewat Purwakarta dibuka, residen Karawang pindah dari Karawang ke Purwakarta. Keberadaan gedung keresidenan dengan arsitektur modern, mengubah suasana kota mengarah ke kota modern.
            Pada zaman Pendudukan Jepang, gedung tersebut menjadi Honbu Kenpeitai (Markas Polisi) Jepang, bagian dari pasukan Detasemen Syoji. Rupanya pihak Jepang memahami arti penting Purwakarta bagi mereka. Sejak waktu itu situasi dan kondisi di Purwakarta tentu mengalami perubahan, baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang sosial ekonomi (Hardjasaputra, ed., 2004 : 85).
            Pada zaman revolusi kemerdekaan, Gedung Keresidenan difungsikan sebagai Markas Resimen V pimpinan Letnan Kolonel Sumarna (Bratakusumah, wawancara, 20 Mei 2005).



Sejarah Masjid Agung Purwakarta

Seperti telah disebutkan, Masjid Agung Purwakarta didirikan hampir bersamaan dengan pendopo. Di Jawa Barat khususnya dan di Pulau Jawa umumnya, setiap kota tradisional yang didirikan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, memiliki komponen utama berupa pendopo, alun-alun, dan masjid agung. Ketiga komponen itu dibangun hampir bersamaan. Hal itu berarti, pada awal berdirinya Masjid Agung Purwakarta dibangun oleh penduduk Sindangkasih, dipimpin oleh hoofdpanghulu (penghulu kepala) dan di bawah pengawasan Bupati R.A.A. Suriawinata alias “Dalem Sholawat” (1830 – 1849). Pada waktu itu yang menjadi hoofdpanghulu Kabupaten Karawang adalah Raden Haji Yusuf (Baing Yusuf). Ia menjadi Hoofdpanghulu Karawang sejak tahun 1828 (Almanak van Nederlandsch Indie, 1828 : 59). Dalam kedudukan itu, Baing Yusuf juga berperan sebagai pengelola Masjid Agung Purwakarta.
Pada tahap awal, kondisi bangunan masjid masih sangat sederhana, sama dengan kondisi bangunan pendopo, yaitu belum berupa bangunan permanen. Atap masjid berbentuk atap tumpang, ciri khas masjid tradisional. Waktu itu, atap umumnya terbuat dari ijuk, dan badan bangunan dibuat dari kayu dan bambu.
            Masjid dibangun tidak jauh dari Situ Buleud agar kebutuhan air tidak mengalami kesulitan. Pembangunan masjid tentu dimaksudkan untuk tempat beribadat orang Islam penduduk kota Purwakarta dan Distrik Sindangkasih. Sangat disayangkan, sumber atau data yang menunjukkan jumlah penduduk daerah itu pada tahun 1830-an belum ditemukan.
Telah disebutkan, bahwa tahun 1854 pendopo di Purwakarta direnovasi. Pada waktu itu, pemerintah kabupaten di Tatar Sunda bukan hanya merenovasi bangunan pendopo, tetapi juga masjid agung. Kegiatan merenovasi kedua bangunan itu dilakukan hampir bersamaan. Hal itu antara lain terjadi di Kabupaten Bandung tahun 1850 (Hardjasaputra, 2002 : 66). Dengan beranalogi pada kejadian di Kabupaten Bandung pada waktu yang hampir sama (pertengahan abad ke-19), boleh jadi Masjid Agung Purwakarta pun pertamakali direnovasi sekitar tahun 1854, masa pemerintahan Bupati R.T.A. Sastradiningrat I (1854 – 1863).
Renovasi itu dilakukan atas dasar kebutuhan pemakai dan sejalan dengan kemajuan kehidupan di ibukota kabupaten. Pemakai masjid agung khususnya tentu penduduk pribumi daerah setempat. Pada tahun 1845, penduduk pribumi Distrik Sindangkasih berjumlah lebih dari 7000 jiwa (Tidschrift voor Neerlands Indie, 1847 : 120). Pada tahun-tahun berikutnya dapat dipastikan jumlah penduduk terus bertambah. Penduduk itulah pemakai utama Masjid Agung Purwakarta waktu itu.
Sebelum ada pesantren, diduga masjid agung juga difungsikan sebagai tempat belajar agama. Selain itu, masjid juga biasa digunakan untuk kegiatan yang menyangkut aturan agama, seperti nikah, talak, rujuk, dan lain-lain. Akad nikah lazim dilaksanakan di masjid, sehingga pergi ke masjid untuk melaksanakan akad nikah dikenal dengan sebutan “ka bale nyungcung”. Nyungcung yang berarti kerucut mengacu pada bentuk atap masjid. Sudah menjadi kelaziman pula, menjelang akhir bulan Ramadhan tiap tahun, masjid juga difungsikan sebagai tempat pengumpulan zakat fitrah dan zakat lainnya. Semaraknya masjid agung tiap tahun terjadi pada acara Idul Fitri dan Idul Adha.
            Masjid Agung Purwakarta dikelola oleh Baing Yusuf sampai ia menjelang wafat tahun 1856. Pengelolaan masjid itu kemudian dilanjutkan oleh keturunan Baing Yusuf, yaitu Kiyai Haji R. Marjuki (Baing Marjuki) sampai tahun 1937.
            Sejak pertengahan abad ke-19 sampai sekarang, Masjid Agung Purwakarta mengalami beberapa kali renovasi. Tahun 1926 masjid itu dielngkapi dengan baik air dan tempat mandi. Pembangunan fasilitas masjid itu dipelopori oleh R. Ibrahim Singadilaga, seorang tokoh masyarakat Purwakarta (Panitia Pem-bangunan Masjid Agung Purwakarta, 1993/1994 : 2).
Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, masjid agung adalah satu-satunya bangunan fasilitas kota yang tidak diganggu atau diduduki oleh pihak penjajah. Hal itu terjadi karena penjajah khawatir akan timbulnya gerakan Islam yang kuat dan besar menentang penjajah, apabila mereka mengganggu fungsi masjid.
            Setelah Indonesia merdeka, Masjid Agung Purwakarta kembali mengalami beberapa kali renovasi. Tahun 1955, di sebelah kiri masjid dibangun ruangan untuk Kantor Pengadilan Agama. Pembangunan ruang kantor itu diprakarsai dan dipimpin oleh R. Endis, K.H. R. Santang, dan K.H. Moh. Aop. Tahun 1967 ruangan masjid diperluas dengan menambah bangunan sayap dan tempat wudlu.
            Lebih-kurang 12 tahun kemudian (1979), masjid itu direnovasi secara besar-besaran, tetapi tetap mempertahankan bentuk asli dan nilai artistiknya. Pelaksanaan renovasi dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Purwakarta, diketuai oleh Hj. Mamie Satibi Darwis, istri Letjen. Drs. H.R.A. Satibi Darwis. Setelah selesai direnovasi, Masjid Agung Purwakarta diresmikan oleh Menteri Agama RI, Letjen. H. Alamsyah Ratu Perwiranegara tahun 1980.
            Beberapa tahun kemudian, sejumlah warga masyarakat Purwakarta menginginkan agar masid agung dipugar, sejalan dengan perkembangan kehidupan agama khususnya dan pembangunan daerah umumnya. Menanggapi aspirasi masyarakat itu, Drs. H. Bynyamin Dudih, S.H. selaku Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Purwakarta mengambil prakarsa untuk memusyawarahkan pemugaran masjid agung. Dalam musyawarah itu, bupati mendapat kepercayaan dari peserta musyawarah menjadi ketua panitia pemugaran masjid. Bupati kemudian mengeluarkan SK Nomor 451.2.05/SK.304-Kesra/93 tanggal 18 Juni 1993, tentang pembentukan Panitia Pembangunan Masjid Agung Purwakarta sebagai berikut.

SUSUNAN PANITIA

PEMBANGUNAN/RENOVASI MASJID AGUNG

PURWAKARTA


KEDUDUKAN

PERSONAL

1

2

Penasehat
1. Drs. H. Suryaman


    Residen Pembantu Gubernur Jawa Barat


    Wilayah IV Purwakarta


2. K.H. Otoilah Mustari


    Ketua MUI Kabupaten Purwakarta



Penanggung Jawab


Ketua Umum
 Drs. H. Bunyamin Dudih, S.H.


 Bupati/Kepala Daerah Tk. II Purwakarta

Wakil Ketua Umum I
 Let. Kol. Bisri Haryoko

Wakil Ketua Umum II
 H. Bachtiar Gani, S.H.

Ketua Harian
 Drs. H. Suing Sasmita

Wakil Ketua I
 Drs. H. Arifin Nurdin

Wakil Ketua II
 H. Sulaeman Efendi

Sekretaris
 Husein Susanto, S.H.

Wakil Sekretaris I
 Drs. H. Achadiat Permadi

Wakil Sekretaris II
 Drs. H. Sanusi Mirsa

Bendahara
 Drs. H. Nana Narasa KR., Bsc.

Wakil Bendahara I
 Makmur Syarifudin

Wakil Bendahara II
 Wien Suherman

Bidang-Bidang :


1. Bid. Usaha dan Dana


    Ketua
 Drs. H.A. Maskar Dwiguna, S.H.

    Anggota
 1. Drs. H.N. Syamsudin


 2. Drs. Elon Ramlan


 3. dr. Endang Marjuh


 4. Ir. Drs. Nana Sumarna


 5. Ir. Fuad A.W. Husen


 6. Ir. Slamet Haryono


 7. Jasri


 8. Ny. Dewi Sigit


 9. Habib Hasan


10. H. Busrol Karim, B.A.










1
2

2. Bid. Pembangunan


    Ketua
 Drs. Rachmat Gartiwa

    Anggota
 1. Ir. Sunardi Kartadihardja


 2. Drs. Thoha Hasan


 3. Drs. Didin Sahidin NJ.


 4. Zenal Abidin Syah


 5. R.E. Nazarudin

3. Bid. Humas/Publikasi


    Ketua
 Drs. S. Sutandi

    Anggota
 1. Drs. H. Abdul Madjid Sholeh, S.H.


 2. Drs. Oom Komarudin


 3. Drs. Haris Zarkasji


 4. Drs. H. Natsir Sa’adi


 5. May Sumartha, S.H.

4. Pembantu Umum
 1. Drs. Rachman Saleh


 2. Drs. Didi Suryadi


 3. Drs. Rahmat Talkanda


 4. Sukadis GS, B.A.


 5. Drs. Gunanto


 6. Drs. Burchanudin


 7. Drs. Sofyan Effendi


 8. Drs. Dudung B. Supardi


 9. Drs. Iyos


10. Drs. A. Rusjaman K.


11. Drs. Egi Suwagi


12. Tatang Chaerudin


13. E. Kusumah, B.A.


14. Drs. Idhar Persantakusumah


15. Yusup Dhana, B.A.


16. Drs. Anang Abdul Rozak


17. Drs. Casdik


18. Hasanuh Ilyas, S.H.


19. Drs. Zaenal Mutaqin


20. Ir. Ahmad Hidayat


21. Nana Sularna


22. R. Syarif Hidayat, Sos. SmHk.


23. Opang Prasetya


24. Muhtar Badri

Konkretnya, pemugaran masjid dilakukan berdasarkan beberapa alasan utama. Pertama, bangunan masjid sudah berusia cukup tua. Beberapa bagian bangunan mengalami rusak berat dan banyak kebocoran pada atap bangunan. Kedua, daya tampung masjid untuk jama’ah shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, tidak memadai. Ketiga, arah masjid kurang sesuai dengan arah kiblat.
            Pelaksanaan pemugaran Masjid Agung Purwakarta dimulai tanggal 25 Juli 1993. Pemugaran berlangsung lebih-kurang satu tahun, dengan mendapat dukungan dari Gubernur Jawa Barat. Pemugaran masjid itu menghabiskan biaya sebesar Rp 704.732.460,00 (tujuh ratus empat juta tujuh ratus tiga puluh dua ribu empat ratus enam puluh rupiah). Biaya sebesar itu berasal dari sumbangan berbagai instansi dan perusahaan termasuk sejumlah karyawannya, dan sumbangan dari warga masyarakat. Di antara para dermawan, ada pula yang menyumbang bahan bangunan (Panitia Pembangunan Masjid Agung Purwakarta, 1993/1994 : 2-16).



Kelanggengan fungsi Masjid Agung Purwakarta dari zaman ke zaman, menambah nilai dan makna masjid dalam perjalanan sejarah kota Purwakarta. Hal itu menunjukkan gambaran perkembangan syiar Islam di Purwakarta dari zaman ke zaman. Meskipun bangunan masjid berkali-kali direnovasi, bahkan akhirnya dipugar, tetapi masjid itu tetap bernilai sejarah, walaupun tidak setinggi nilai sejarah pendopo. Satu hal yang memperkuat nilai sejarah situs Masjid Agung Purwakarta adalah keberadaan makan Bupati R.T.A. Gandanegara -- Bupati Karawang ke-15 (1911 – 1925) yang berkedudukan di Purwakarta -- di halaman belakang masjid. Hal yang disebut terakhir merupakan alasan kuat untuk tidak memindahkan lokasi masjid, karena memang – seperti telah disebutkan – masjid agung adalah salah satu komponen utama kota.