Kamis, 27 Desember 2012

Paradigma Baru PNS ; Profesional Netral dan Sejahtera


1.1    PENDAHULUAN

­            PNS merupakan aset nasional yang bertugas menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di segala bidang. Pengalaman yang lalu membuktikan, keberadaan PNS mampu menjaga dan mengawal perjalanan bangsa, meskipun diwarnai berbagai gelombang pasang surut dinamika politik yang menggelora. PNS yang netral dan profesional ternyata dibutuhkan oleh masyarakat agar pelaksanaan pemerintah dapat berjalan secara efektif untuk melayani masyarakat secara merata.
Meski demikian masih terdapat stigma negatif mengenai PNS yang cenderung dinilai malas, kurang profesional, boros, diliputi KKN dsb. Masyarakat juga menilai masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan/seleksi CPNS, misalnya praktek sogok menyogok dsb.Padahal masyarakat mengharapkan pelayanan yang optimal sejak mulai dari pembuatan akta kelahiran hingga surat kematian.
Sistem dan nilai yang tergambar di dalam adat istiadat kebiasaan, kesenian, hubungan kemasyarakatan dan lain-lain adalah unsur kebudayaan, sebagaimana faktor keagamaan sangat berpengaruh besar pada pola sikap, pola pikir dan pola tindak manusia. Kondisi itu tidak terkecuali bagi aparatur pemerintah tanggungjawab melaksanakan tugas kepemerintahan dan pembangunan dalam perjalanan dan maju terus seperti pada akhir.
Dalam kehidupan berbagai negara dan bangsa di berbagai  belahan dunia, berkembangnya birokrasi merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa, disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik kedalam berbagai kebijakan publik. Dan disamping itu berfungsi untuk melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional.
Birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean goverment) dalam keseluruhan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance).  Opini yang berkembang dari  pakar dan pengamat ekonomi dan politik serta tokoh masyarakat Indonesia dan international baik melalui media masa maupun pada forum-­forum lainnya menyatakan bahwa dibanding korupsi yang terjadi di berbagai negara lain, fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan, korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik, sudah menjadi suatu system yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara.
Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 44 tahun tahun dilakukan, baik pada orde lama dan orde baru, maupun era reformasi selama ini, belum menunjukan hasil seperti yang kita harapkan. Korupsi merupakan penyakit kronis berkembang terus.

1.2.  Kompetensi SDM  PNS
Sosok birokrat ataupun SDM aparatur (Pegawai Negeri Sipil) seyogyanya ­penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, netral, rasional, demokratik, inovatif mandiri memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut:
1)      mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara,
2)      memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik,
3)      berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan inovatif,
4)      taat asas, dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional, (e) memiliiki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas),
5)      memiliki jati diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, serta bangga terhadap profesinya sebagai pegawai negeri
6)      memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan
7)      memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas.

Selanjutnya, reformasi birokrasi baik di pusat maupun di daerah-daerah perlu memperhatikan aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip berikut. :
Pertama, demokrasi dan pemberdayaan.
Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara dan seluruh unsur aparatur negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, dan pemberdayaan bagi mereka yang dalam posisi lemah secara rasional dan berkeadilan. Demokrasi tidak hanya mempunyai makna dan berisikan kebebasan, tetapi juga tanggung jawab; demokrasi juga mengandung tuntutan kompetensi dan bermakna kearifan dalam memikul tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan bersama yang dilakukan berkeadaban, disertai komitmen tinggi untuk menegakan kepentingan publik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.
Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat reinventing antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (e) pengembangan program untuk lebih meningkatkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kedua, pelayanan.
Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat (a spirit of public services) dan menjadi mitra masyarakat (partner of societ) atau melakukan kerja sama dengan masyarakat (coproduction atau partnership). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah­daerah.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan 'berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara baik pusat dan daerah
Ketiga, transparansi.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya disamping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembang,kan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, bersikap terbuka dan bertanggung jawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat; dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggung jawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan, selain memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga memerlukan langkah-Iangkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan aktivitas mereka. serta memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya dan adanya keputusan­keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Keempat, partisipasi.
Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasiikan public good and services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata­ mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat. ("empowering rather than serving"), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
Rumusan pemberdayaan (empowerment") juga selalu dikaitkan dengan pendekatan partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan itu perlu dicatat pentingnya peranan keswadayaan masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan ("capacity building"). Jangan diabaikan pula penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi dalam pengelolaan usaha­-usaha negara
Kelima, kemitraan.
Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang saling menguntungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan pemerintah ditujukan kearah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijaksanaan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan berskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannva Dalam proses tersebut adanya kepastian hukum sangat diperlukan.
Keenam, Desentralisasi
Perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan dan pelayanan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, kewenangan, dan tangungjawab yang ada di daerah. Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-Iangkah serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan­perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah.
Perbedaan perkembangan antar daerah mempunyai implikasi yang berbeda pad a macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengari kontribusi dan potensi pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Ketujuh, konsistensi kebijakan, dan kepaslian hukum.
Tegaknya hukum yang berkeadilan secara efektif merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, justru di tengah kemajemukan merajalelanya KKN termasuk money politics, berbagai ketidakpastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya persaingan.
Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator profesionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemenntahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan intemasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus dituangkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan hukum dan sekaligus mengandung kepastian hukum.
Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka keberpihakan : birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar serta dapat mepertahankan posisi netralnya. Akuntabilrtas kinerja instansi pemerintah ini juga akan menjadi semacam sistem pengendalian internal bagi birokrasi.

1.3    Pelayanan Publik

               Pelayanan publik dewasa ini menjadi isu yang semakin strategis karena tingkat kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan. Perbaikan kinerja pelayanan birokrasi di bidang ekonomi misalnya, akan dapat mendorong terciptanya iklim yang kondusif pada kegiatan usaha dan investasi. Hal ini amat diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk bisa keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Harus diakui bahwa di bidang ini masih banyak kelemahan yang kita rasakan, sehingga tidak heran kalau pertumbuhan ekonomi, investasi, dan peluang lapangan kerja tidak berkembang seperti yang diharapkan.
Secara politis, perbaikan kinerja pelayanan birokrasi akan berdampak tumbuhnya kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap pemerintah. Sebaliknya kinerja birokrasi yang buruk akan menjadi salah satu faktor pendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki kembali citra pemerintahan dimata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali, sehingga legitimasi pemerintah akan semakin lebih kuat.
               Di sisi lain, harus pula diakui bahwa jajaran birokrasi telah berusaha keras memperbaiki kinerja pelayanannya kepada publik. Kita tidak boleh menutup mata bahwa sejumlah Kepala Daerah/Bupati/Walikota telah membuka hot line pengaduan masyarakat selama 24 jam terhadap berbagai pelayanan yang kurang memuaskan. Sejumlah unit-unit pelayanan telah memperoleh ISO 9000 karena keberhasilannya dalam memperbaiki business process pelayanannya, antara lain penggunaan teknologi informasi (TI) yang telah meningkatkan efisiensi dan transparansi pelayanan.
               Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan.
Paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk emlayani. Padahal pemerintah seharus melayani bukan dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang"
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerihtah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain:
* Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
* Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
* Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
* Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sang at kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi l3elayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
* Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
* Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
* Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Pada dasarnya pelayanan publik harus mencantumkan tiga hal pokok yang harus dituliskan pada semua tempat pelayanan, yakni apa syarat-syaratnya, berapa biayanya, kapan selesainya, serta siapa yang melayani dan di mana tempat pelayanannya. Dalam penerapannya, maka pelaksanaan pelayanan publik  senantiasa  berazaskan kepada kepastian hukum, keterbukaan, partisipatif, akuntabilitas, kepentingan umum, profesionalisme, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban.
Pelayanan publik merupakan salah satu fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, serta lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah.
Pemantauan atas pelaksanaan pelayanan publik yang komprehensif dan terpadu, dapat berfungsi efektif apabila didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan dan sanksi yang jelas. Sanksi ini dapat dilaksanakan apabila petugas pelayanan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan pelayanan publik yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Pelayanan publik yang baik memerlukan sanksi dan ancaman hukuman yang tegas dan bersifat memaksa yang hanya dapat ditetapkan dalam undang-undang.
Saat ini peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik masih terfragmentasi pada berbagai sektor dalam berbagai bentuk dan belum cukup mengatur aspek pelayanan publik yang diperlukan. Terwujudnya peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik akan memberikan kepastian bagi seluruh aparatur pemerintah dalam melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Di sisi lain, peran masyarakat sangat diperlukan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan.
           
1.4    NETRALITAS PNS
Pegawai Negeri di Indonesia (Pegawai Negeri Sipil dan anggota Kepolisian Indonesia) harus taat dan setia kepada pemerintah – selain kepada UUD 1945,  Pancasila, Negara, dan UU . Persoalan reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik atau good governance (pemerintahan yang baik) selalu dikaitan dengan pegawai negeri sipil (PNS), yang pengelola administrasi negara. Bagaimana caranya mereformasi birokrasi? Salah satu tuntutan terhadap PNS Indonesia adalah netralitas.
Beberapa orang yang memahami pegawai negeri sebagai abdi negara berpendapat, pegawai negeri justru harus berpihak, yakni kepada rakyat, melayani kepentingan publik. Kalau mereka harus netral, netral terhadap apa dan siapa? Lagi pula, mengapa pegawai harus netral?  Pegawai negeri, sipil maupun militer, adalah birokrat, adalah merupakan aparat pemerintahan, yang artinya: pegawai negeri adalah alat, adalah pembantu bagi pemerintah”.
Pemerintah adalah pihak yang karena proses pemilihan umum, baik legislatif maupun (terutama) eksekutif dipilih oleh rakyat (publik) untuk mengelola jalannya kehidupan bernegara dan berbangsa. Pemerintah adalah sekelompok orang yang dipilih melalui seleksi politis (pemilu), sedangkan birokrat adalah orang-orang yang diangkat berdasarkan karier, berdasarkan kriteria kinerja sektoral.
Karena birokrat hanyalah merupakan aparat, merupakan alat, dari pemerintah yang dipilih secara politis itu, maka birokrat haruslah taat kepada perintah pemerintah, dari manapun partai politik si master itu berasal. Artinya, birokrasi haruslah yang netral terhadap partai politik peserta pemilu, karena mereka harus melayani siapa pun pemenang pemilu itu. Netralitas pegawai negeri yang dimaksud, adalah netralitas terhadap partai politik peserta pemilu. Namun, jika pegawai negeri adalah alat, adalah pembantu bagi pemerintah, lalu bagaimana pegawai negeri bisa netral? Selanjutnya, bagaimana dengan netralitas pegawainegeri yang bekerja di lembaga-lembaga non-pemerintah (legislatif, yudikatif atau Komisi Pemilihan Umum).
Banyak sekali landasan hukum PNS bersikap netral dalam urusan politik praktis. Di antaranya UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP 5/1999 jo PP 12/1999, keduanya memberi rambu tegas (larangan) bagi PNS menjadi anggota, apalagi pengurus partai politik.
Netralitas PNS dalam pemilu legeslatif, secara tegas dinyatakan pada Pasal 75 UU 12/2003 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD. Ayat (3) Pasal itu berbunyi: "Partai politik peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye, dan juru kampanye dalam pemilu".
Seharusnya, hak politik PNS yang memang hanya di bilik suara itu, dijunjung tinggi seluruh pejabat negara, struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, maupun kepala desa (sebutan lain), sesuai perintah undang-undang. Sebab, berbeda dengan anggota TNI dan Polri, yang -sesuai perintah hukum- tidak menggunakan hak suara, PNS (masih) berhak menggunakan hak politik warga negara, di bilik suara.
Selain di bilik suara, PNS tidak boleh melibatkan diri secara langsung atau tak langsung, sengaja atau tak sengaja, dalam seluruh bentuk keberpihakan PNS kepada peserta pemilu legeslatif lalu. Juga diharamkan berkepihakan kepada pasangan capres/cawapres tertentu pada pilpres mendatang.
Konsisten dengannya, setiap PNS tidak dibenarkan oleh hukum untuk menjadi tim sukses atau tim kampanye pasangan capres/cawapres yang mana pun. PNS pun dilarang ikut dalam kampanye pemilu, baik pemilu legesIatif maupun pemilihan presiden. PNS juga tidak diizinkan memengaruhi warga masyarakat untuk memilih, atau tidak memilih parpol atau perorangan peserta pemilu legislatif 5 April lalu, sebagaimana tidak juga diperkenankan menonjolkan kelebihan pasangan capres/cawapres tertentu, sembari menjelek-jelekkan pasangan calon lainnya.
Banyak kalangan menuntut para abdi negara mampu menjaga netralitasnya untuk memperbaiki kinerja dalam layanan publik. Tapi, kinerja pegawai sipil tampak masih banyak bolong di sana-sini. Bagaimana menutupi bolong-bolong itu?
Di era reformasi sekarang ini pun, masih banyak yang meragukan netralitas PNS, yang di masa lalu memiliki patron politik yang lekat dengan Orde Baru. Selain itu, masih banyak pejabat tinggi yang berkuasa sekarang, di masa lalu adalah bagian dari arsitek Orde Baru, yang kini tetap bercokol di lembaga pemerintahan. Di negara-negara ekonomi maju, seperti Jepang, Eropa dan Amerika, persoalan netralitas korps pegawai sipil tidak lagi menjadi perbincangan, mengingat sistem yang dibuat membuat PNS lepas dari pengaruh politik partai yang berkuasa. Kelemahan mendasar adalah di sisi pelayanan publik dan menonjolnya budaya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di tubuh para birokrat.
Kini aparatur negara mulai menata diri. melalui lembaga Korpri, mereka meminta kepada para pejabat negara, pemuka partai politik, dunia usaha besar dan kecil serta elemen masyarakat agar bisa mendudukkan PNS lebih profesional (good governance). Netralitas PNS menjadi tuntutan semua pihak. Apalagi dalam menghadapi situasi dan kondisi seperti sekarang, Kopri harus mampu memiliki ketahanan dan kemampuan dalam menghadapi pengaruh luar.
Secara obyektifk korpri menjadi sangat strategis, paling tidak berpotensi menjadi salah satu agen untuk proses perubahan birokrasi sehingga mampu berjalan sesuai dengan pembaharuan struktural dan penyiapan aspek kulturalnya. Kedudukan strategis tersebut a.l Korpri menjadi mitra kerja dari pemerintah dan bukan serikat pekerja yang terpisah dari negara. Faktor ini memudahkan Korpri menjadi pengarah yang baik dalam meningkatan mutu sistem birokrasi.
Salah satu faktor dan aktor utama yang turut berperan dalam perwujudan pemerintahan yang bersih (clean government) dan kepemerintahan yanq baik (good govenance) adalah birokrasi. Dalam posisi dan perannya yang demikian penting dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan efisiensi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
               Undang-undang telah ditetapkan oleh DPR dan diundangkan oleh perintah dan berbagai kebijakan publik yang dituangkan dalam berbagai bentuk aturan perundang-undangan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan, akan dapat dikelola secara efektif oleh pemerintah apabila terdapat "birokrasi yang sehat dan kuat', yaitu "birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara, dalam mengemban misi perjuangan dalam  mewujudkan cita-cita dan  tujuan bernegara tertentu; birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau pun memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak penguasa.
            Dengan makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan pembangunan, pengembangan sistem manajemen pemerintahan perlu diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang berkepastian hukum, kondusif, transparan dan akuntabel, disertai dukungan sistematika yang terarah. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator baqi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi dan produktivitas masyarakat dan dunia usaha di seluruh wilayah negara. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi baqian dan masyarakat yang terus belajar (learning community), mengacu pada terwujudnya masyarakat maju, mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi.


1.5    KENAIKAN GAJI, KESEJAHTERAAN DAN PELAYANAN PNS
 
Kesejahteraan aparatur yang terkait langsung dengan gaji pegawai, jaminan sosial, serta fasilitas hidup lainnya sangat jauh dari memuaskan. Inilah salah satu faktor penting yang menyebabkan pelaksanaan pelayanan publik selama ini tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Rendahnya tingkat kesejahteraan PNS diyakini telah mendorong mereka ke arah perbuatan tercela dengan melakukan penyelewengan dan KKN. 
Menjadi pegawai negeri merupakan suatu pilihan profesi karier, sehingga merupakan suatu hal yang wajar menuntut standar gaji untuk memenuhi kompensasi beban tugas, tanggung jawab, kualifikasi, prestasi, periode waktu kerja serta tingkat biaya hidup. Namun, sistem gaji PNS saat ini belum menggunakan sistem merit yang mempertimbangkan prestasi kerja, akibatnya PNS yang rajin dan tekun maupun yang malas dalam melaksanakan tugasnya menerima gaji yang sama besarnya. Dengan demikian tidak terjadi korelasi antara kebijakan mengenai gaji dengan tingkat produktivitas PNS. Sehingga istilah PGPS yang asalnya singkatan dari Peraturan Gaji Pegawai Sipil seringkali diplesetkan menjadi Pintar Goblok Pendapatan Sama.
Padahal esensi dari suatu kebijakan remunerasi itu seharusnya didasarkan atas prinsip-prinsip yang meliputi: (a) dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan sekaligus mampu mempertahankan pekerja yang berkualitas yang sudah ada dalam organisasi; dan (b) menyediakan reward terhadap pegawai yang berperilaku sesuai dengan yang diinginkan oleh organisasi (desired behaviour), seperti perestasi kerja, patuh, disiplin, berpengalaman, bertanggung jawab, dan lain sebagainya.   
Gejala yang tidak adil tersebut dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos kerja dan disiplin kerja pegawai. Semangat, disiplin, dan etos kerja yang rendah merupakan sumber malapetaka terhadap birokrasi pemerintah. Apabila ini dibiarkan berlanjut aparatur pemerintah akan semakin terdorong untuk mencari sumber-sumber lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mengabaikan tugas dan fungsi pokoknya sebagai abdi negara dan masyarakat. Individu-individu tersebut cenderung melakukan perbuatan ilegal (KKN) yang menjadi pathologi dalam tubuh birokrasi pemerintah sebagaimana yang terjadi dewasa
Upaya untuk meningkatkan derajat profesionalisme PNS agar dapat menjalankan tugas pelayanan yang lebih responsive, tepat waktu dan berkualitas, diperlukan perbaikan kualitas hidup dan terciptanya sistem kesejahteraan PNS yang dapat mendorong motivasi kerja, memproteksi kesehatan, membantu penyediaan rumah dan memproteksi kehidupan purna tugas. Perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan PNS dapat ditempuh dengan program baik jangka pendek maupun jangka panjang serta mempertimbangkan kemampuan pemerintah dalam mewujudkan program tersebut, sehingga strategi dan kegiatan nyata dapat terwujud.
Pada tahun 2006 diupayakan memberikan kenaikan gaji pokok PNS golongan rendah dengan prosentase kenaikan yang lebih tinggi, yaitu 30 persen dengan menetapkan standar kebutuhan hidup layak beserta keluarganya. Adapun PNS yang memiliki golongan ruang dan jabatan yang lebih tinggi prosentase kenaikannya lebih rendah yaitu eselon I 15 persen, eselon II 20 persen serta pejabat Negara sebesar 10 persen.
Tahun 2008 diupayakan sistem penggajian yang ideal, yaitu system penggajian yang didasarkan pada merit sistem dengan mempertimbangkan 4 ( empat ) pilar yang mendukungnya. . Keempat pilar tersebut adalah klasifikasi jabatan, kompetensi jabatan, penilaian kinerja dan kompensasi pegawai.
Upaya perbaikan kesejahteraan PNS dibarengi / diperkuat dengan komunikasi politik, karena pemerintah perlu mendapat dukungan dan persetujuan dari DPR, dan perlu kiranya dilakukan komunikasi publik untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan memberi keyakinan bahwa perbaikan kesejahteraan PNS penting untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kinerja PNS, untuk itu Pemerintah perlu menetapkan keputusan tentang grand design reformasi sistem remunerasi PNS dengan schedule yang jelas dan tindakan yang nyata, sehingga guna mewujudkan equity dalam penggajian perlu diterapkan standar gaji nasional untuk semua penyelenggara Negara, sehingga pemerintah dapat menetapkan peraturan yang meniadakan disikriminasi dalam system penggajian. 
Para PNS di seluruh Indonesia tentu bergembira karena kenaikan gaji bukan hanya akan menambah besarnya gaji yang selama ini diterima, tetapi juga akan menambah daya beli dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya.Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), gaji pokok PNS dinaikkan sebesar Rp 150.000,00 merata untuk seluruh PNS. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden Susilo, gaji PNS sudah dinaikkan sebesar 15% pada tahun 2006 dan akan dinaikkan lagi sebesar 15% pada tahun 2007. Ini berarti selama dua tahun berturut-turut yakni 2006 dan 2007 dalam masa pemerintahan Presiden Susilo kenaikan gaji PNS mencapai 30%. Tak dapat disangkal bahwa baik pemerintahan sebelumnya maupun pemerintahan Presiden Susilo mempunyai dalih atau alasan yang sama dalam menaikkan gaji PNS.Paling tidak ada dua dalih atau alasan mengapa pemerintah menaikkan gaji PNS Alasannya adalah meningkatkan kesejahteraan PNS dan pelayanan kepada masyarakat. Diharapkan, dengan kenaikan gaji PNS, kesejahteraan PNS akan meningkat. Begitu pula, dengan meningkatnya kesejahteraan PNS akan meningkat pula pelayanan PNS kepada masyarakat. Akan tetapi, pertanyaannya apakah kedua dalih ini dapat terwujud secara baik? 
Walaupun gaji PNS dinaikkan, masih ada keraguan dari kalangan PNS akan naiknya kesejahteraan mereka. Keraguan tersebut muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya bahwa rencana kenaikan gaji PNS selalu diikuti oleh lonjakan harga bahan kebutuhan pokok, barang-barang dan jasa lainnya. Fenomena yang terjadi sebelumnya, manakala pemerintah mengumumkan rencana kenaikan gaji PNS, maka harga barang-barang dan jasa-jasa di pasaran sudah naik mendahului realiasi kenaikan gaji tersebut. Dengan kata lain, sebelum kenaikan gaji diterima, harga barang-barang di pasaran sudah naik. 
Selain itu, kenaikan sebesar 15% akan menambah kurang lebih Rp 225.000,00 kalau gaji pokok sebesar Rp 1.500.000,00 per bulan. Sementara itu, kebutuhanjuga meningkat baik jenis maupun jumlahnya. Dari fenomena ini, kebanyakan PNS berangapan bahwa dampak dari kenaikan gaji terhadap kesejahteraan PNS belum terlalu signifikan. Dalam kenyataannya, kenaikan gaji belum mencukupi kebutuhan keluarga yang beragam. 
Anggapan semacam ini didasarkan pada upaya untuk menghubungan ada tidaknya pengaruh kenaikan gaji dengan kenaikan harga barang-barang termasuk sembilan bahan kebutuhan pokok. Coki Ahmad Syahwier (18 Agustus 2006), pengamat ekonomi dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung (Jabar) mengemukakan bahwa dalam konteks sekarang, fenomena itu tidak ada lagi karenaharga kebutuhan pokok di pasaran sudah pada naik sebelum diumumkan kenaikangaji PNS. Kenaikan itu tidak disebabkan oleh kenaikan gaji PNS tetapi olehsebab lain seperti faktor musim. Musim kemarau mempengaruhi harga sector pertanian seperti sayur-sayur dansebagainya karena permintaan di pasaran lebih tinggi dibandingkan dengan suplai. Faktor lainnya adalah hari raya keagamaan misalnya menjelang bulan puasa dan lebaran mempengaruhi kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Jadi, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok sebenarnya tidak disebabkan oleh kenaikan gaji tetapi oleh faktor musim dan hari raya keagamaan 
Pertanyaan berikutnya, apakah kenaikan gaji PNS akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat? Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang sesuai dengan kriteria-kriteria pelayanan publik. Zeithami (1990) mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi antara lain : a) tangible (terjamah) terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personildan komunikasi; b) realibale (handal), kemampuan unit pelayanan dalammenciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu; c) responsiveness(pertanggungjawaban), kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan; d) competence, tuntutan yangdimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan; e) courtesey, sikap atau perilaku ramah, bersahabat,tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; f) credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarikkepercayaan masyarakat; g) security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko; h) access, terdapat kemudahan untuk mengadakankontak dan pendekatan; i) communication, kemauan pemberi layanan untukmendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat; j) understandingthe customer (memahami pelanggan), melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.Pelayanan yang mengabaikan kriteria-kriteria pelayanan publik tersebut hanya akan mengurangi atau malah menghilangkan kualitas pelayanan itu sendiri.Pelayanan PNS kepada masyarakat diharapkan berdasarkan tolok ukurataukriteria-kriteria pelayanan publik tersebut. Hal ini terutama karena para PNS yang diangkat dan dipekerjakan olehpemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat berperan danbertanggungjawab dalam memberikan pelayanan terbaikkepada masyarakat sehingga mensejahterakan masyarakat melalui pelayanan yang diberikan. Mereka diangkat bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untukmelayani masyarakat. Mereka adalah instrumen pemerintah dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat. 
 Kenyataan yang selama ini dijumpai adalah pelayanan publik belum memuaskan, malah jauh dari prinsip-prinsip pelayanan publik. Dalam hasil penelitiannya tentang Governance and Decentralization Survey (GDS) 2003, Agus Dwiyanto dkk (2003) mengemukakan beberapa indikasi adanya pelayanan pemerintah kabupaten dan kota yang masih jauh dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik antara lain : a) belum adanya prinsip keadilan dan persamaan dalam praktek pelayananpublik yang ditandai oleh masih adanya diskriminasi menurut hubunganpertemanan, afiliasi politik, kesamaan etnis dan agama dalam praktek pelayananpublik; b) rendahnya responsivitas pemerintah kabupaten dan kota dalammenanggapi keluhan dan kebutuhan masyarakat. Frekuensi keluhan masyarakat yangpaling banyak adalah masalah sertifikat tanah dan yang terendah adalah masalah KTP; c) rendahnya efisiensi dan efektivitas pelayanan yang ditandai oleh adanyapelayanan yang lambat, tidak cepat dan tepat waktu dan masih adanya biaya tambahan di luar biaya yang seharusnya; d) masih adanya budaya rente birokrasi di mana sering terjadi praktek suap dan potongan yang kadang-kadang melebihi keuntungan dalam mengerjakan proyek-proyek pemerintah. 
Menurut pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Budi Radjab, jika memakai akal sehat, seharusnya ada korelasi kenaikan gaji PNS dengan pelayanan, tetapi kenyataannya tidak ada. Dalam kenyataannya, orang dengan mudah berceritera tentang bagaimana mengurus KTP; bagaimana bingungnyamengurus sertifikat tanah, berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untukmengurus izin mendirikan bangunan (IMB), izin perusahaan dan sebagainya. Malahmasyarakat sudah dibuat biasa dan dipaksa mengikuti kebiasaan yang dibangun selama ini. Kalau ingin mengurus sesuatu dengan lancar dan cepat, berikanlah sesuatu. 
Tampaknya telah tertanam suatu pandangan, sikap dan perilaku birokrasi yang belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam memberikan pelayanan.Inu Kencana (1999) mengemukakan bahwa sebabnya adalah masihadanyakecenderungan para pelayan publik (biroktrat) yang memosisikan masyarakatsebagai pihak yang "melayani", bukan yang "dilayani". Akibatnya, pelayanan yangseharusnya ditujukan kepada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat kepada pelayan publik (birokrat). Budi Radjab juga mengemukakan bahwa dalam pandangan PNS, tidak ada kaitan antara gaji yang diterima denganpelayanan. Pelayanan sudah diartikan selama ini sebagai extra money atau jalan lain untuk mendapatkan uang tambahan di luar gaji. 
Dan itulah persoalan terbesar birokrasi Indonesia. Ketika rencana kenaikan gaji diumumkan oleh pemerintah muncul pula berbagai tanggapan dan harapan dari masyarakat akan pelayanan PNS. Salah satu tanggapan adalah "dari dulu gaji dinaikkan terus-menerus  tetapi pelayanan tetap saja seperti itu. Korupsi dari pegawai kecil sampai pegawai tingkat atas tetap terjadi.  Tidak ada jaminan bahwa gaji naik maka korupsi hilang dan kinerja PNS semakin baik. Harusnya yang gajinya naik itu yang kerjanya rajin dan konditenya bagus. Bukan yang suka korupsi waktu, apalagi korupsi uang".Akhirnya dapat dikatakan bahwa tidak ada jaminan yang pasti bahwa kenaikangaji dapat meningkatkan kesejahteraan dan kinerja pelayanan PNS kepada masyarakat. Dalam kenyataannya, kenaikan gaji selalu diikuti oleh lonjakan harga barang-barang dan persentase kenaikan pun belum mampu mengimbangi dan memenuhi keanekaragaman kebutuhan PNS mulai dari kebutuhan bahan-bahan pokok, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Dengan demikian, kenaikan gaji harus pula disertai dengan pembinaan sikap dan perilaku PNS agar mereka semakin lebih sadar akan tugas dan tanggung  awabnya untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya sebagai yang dilayani oleh masyarakat.
 
1.5    PENUTUP
Paradigma baru PNS yang profesional, netral dan sejahtera mempunyai arti, yakni; setiap anggota korpri hendaknya dapat meningkatkan profesionalisme, kompetensi dan kemampuan sesuai dengan bidang tugas yang dibebankan,  harus netral dan fokus dengan fungsi dan tugasnya sebagai pegawai negeri sipil serta dapat  memberikan implikasi terhadap kesejahteraan anggota Korpri.Oleh karena itu, dengan paradigma baru ini sudah jelas bahwa Korpri itu hanya berlandaskan dengan profesional, netral dan sejahtera.
Dalam hal kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil pemerintah seharusnya  menyelaraskan dengan tugas-tugas pelayanan aparatur, apalagi tuntutan masyarakat yang semakin hari akan semakin berat, karena kebutuhan masyarakat semakin hari semakin banyak dan perbandingan antara apatur dengan pertumbuhan penduduk semakin hari akan semakin jauh. Karena itu diperlukan dan dituntut untuk meningkatkan profesionalismenya, sehingga akan dapat mengejar dan memenuhi pelayanan yang di inginkan masyarakat.
Upaya untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah baik di pusat dan daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, senantiasa memperhatikan 3 (tiga) hal pokok yang meliputi:
1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah  
Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah mengamanatkan agar pemerintah memberikan kesejahteraan yang memadai bagi PNS1. Oleh karena itu, amanat UU 43/1999 untuk menciptakan aparatur negara yang sejahtera belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh para pengambil kebijakan. Reformasi birokrasi akan sulit dicapai tanpa meperhatikan kesejahteran pegawai negeri (termasuk TNI/Polri). Pegawai negeri adalah manusia, dan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Oleh karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi bila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja. 
Selama 3 dekade kepemerintahan orde baru, sistem gaji “perjuangan” ini telah menimbulkan social cost , selain economic cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek KKN di lingkungan birokrasi pemerintah. Untuk melakukan penghapusan terhadap social cost tersebut bukan merupakan hal mudah, dan hal yang inilah yang kita hadapi dewasa ini. 
Dalam Undang-undang nomor 43 Tahun 1999 disebutkan pada pasal 7 ayat (1) setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya; (2) gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan jaminan kesejahteraan. Kemudian dalam penjelasan UU tersebut diterangkan bahwa; (1) yang dimaksud gaji yang adil dan layak adalah gaji PNS harus mampu menenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya; (2) pengaturan gaji PNS yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan baik antar PNS maupun antara PNS dengan swasta.
Lambannya birokrasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, tidak dapat dipungkiri sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan (gaji) mereka yang relatif kecil, dan ini sangat berpengaruh terhadap semangat bekerjanya. Dengan gaji yang sangat kecil yang mustahil dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa disadari telah mendorong PNS untuk menciptakan tambahan kesejahteraan dengan mensiasati tugas dan kewenangannya.  Oleh karena itu perlu dengan segera dilakukan upaya yang lebih realistis terhadap peningkatan kesejahteraan PNS, TNI, dan Polri, yang disertai degan berbagai fasilitas pendukung lainnya, untuk keberlangsungan jaminan hari tua mereka. 
2. Meningkatkan Etika dan Moral Birokrasi Pemerintah  
Sebagai bangsa yang religius, seharusnya tindakan tidak terpuji KKN di lingkungan birokrasi pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan membuktikan lain. Birokrasi pemerintah, mulai tingkat elite sampai pada aparatur di tingkat bawah, memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan KKN. Yang berbeda hanyalah porsi dan caranya saja. Perilaku KKN berawal dari keserakahan materi, kemudian berkembang menjadi kelainan-kelainan yang sifatnya bukan saja perilaku korup di lingkungan birokrasi pemerintah, tetapi persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kedua belah pihak dengan mengorbankan kepentingan negara. 
Demikian pula proses nepotisme yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah, yang mengakibatkan permasalahan negara dewasa ini tidak mampu diatasi oleh birokrasi pemerintah sendiri. Sebagai contoh praktek nepotisme dalam menduduki posisi strategis menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Mereka tidak lagi berpikir bagaimana memperbaiki negara ini, tetapi bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan cara mengangkat orang-orang yang dapat mendukung dan loyal terhadap dirinya. Untuk mencegah hal tersebut diperlukan pembetukan watak etika dan moral birokrasi pemerintah. Sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan kepentingan umum dan kebutuhan masyarakat yang tersingkirkan.  

3. Profesionalisme Birokrasi Pemerintah  
            Hingga tahun 2004  PNS masih didominasi oleh yang berpendidikan SLTA ke bawah. PNS yang berpendidikan SD berjumlah 309.120 orang atau 7,86 persen, SLTP, 214.382 orang atau 5,45 persen dan SLTA, berjumlah 2.330.597 orang atau 59,26 persen. Sedangkan yang berpendidikan perguruan tinggi (DI, DII, DIII, Akademi, Sarjana muda, dan S1, S2 dan S3 berjumlah 1.078.667 orang atau 27, 43 persen. Dengan sebagian besar PNS masih berpendidikan SLTA ke bawah, tentunya mereka belum bisa diharapkan mampu menciptakan kreasi dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan dan dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. 
            Untuk mewujudkan profesionalisme PNS perlu dilakukan berbagai jenis pendidikan dan pelatihan (diklat) di dalam dan luar negeri, yang meliputi diklat gelar, non gelar, serta diklat teknis keterampilan. Berbagai diklat tersebut tentunya diarahkan sesuai dengan kebutuhan bangsa dewasa ini dan di masa yang akan datang.  Namun demikian, jika PNS tersebut tidak dapat ditingkatkan lagi kemampuannya, perlu dicarikan upaya agar mereka dapat dialihkan pekerjaannya.
            Di samping itu dalam upaya meningkatkan profesionalisme PNS perlu diperhatikan sistem rekruitmen yang selama ini telah memberikan konstribusi terhadap rendahnya kompetensi dan motivasi pegawai negeri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Walaupun belum ada penelitian khusus mengenai korelasi hal tersebut di atas, namun ada kencenderungan bahwa pegawai yang masuk melalui mekanisme KKN, tidak menunjukkan kinerja yang diharapkan. Kecenderungan ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian kualifikasi yang dibutuhkan, dan rendahnya kapabilitas.  

Rabu, 26 Desember 2012

Sindangkasih Cikal-bakal Purwakarta


Perpindahan Ibukota Kabupaten Karawang Dari Wanayasa ke Sindangkasih
Ketika Kabupaten Karawang diperintah oleh Bupati R.A. Suriawinata (1829 – 1849), ibukota kabupaten dipindahkan lagi dari Wanayasa ke Sindang-kasih. Pada masa Hindia Belanda, perpindahan ibukota kabupaten bukan hal yang aneh, karena memang terjadi di beberapa daerah. Di Priangan misalnya, antara awal sampai dengan pertengahan abad ke-19, sejumlah kabupaten mengalami perpindahan ibukota. Beberapa kabupaten bahkan mengalami perpindahan ibukota berulangkali. Misalnya, tahun 1810 ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak (Dayeuhkolot sekarang) ke kota Bandung yang didirikan tahun itu. Pada tahun yang sama, ibukota Kabupaten Parakanmuncang dipindahkan ke Andawadak (kira-kira Tanjungsari, Sumedang sekarang). Tahun 1815 ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan (perpindahan kedua kali) dari Imbanagara ke Cibatu (Ciamis). Tahun 1832 ibukota Kabupaten Sukapura di-pindahkan dari Sukaraja ke Pasirpanjang (perpindahan ketiga kali), kemudian ke Manonjaya13) Pemindahan ibukota kabupaten pada dasarnya adalah inisiatif bupati yang bersangkutan.
Mengacu pada pemindahan ibukota kabupaten-kabupaten di Priangan, diduga pemindahan ibukota Kabupaten Karawang pun adalah gagasan bupati yang disetujui oleh asisten residen dan residen. Perpindahan ibukota kabupaten tentu memiliki alasan dan tujuan. Dalam perpindahan ibukota kabupaten-kabupaten di Priangan, selain berdasarkan alasan yang sama, juga memiliki alasan yang berbeda. Akan tetapi, tujuan utama perpindahan itu sama. Demikian pula tujuan utama perpindahan ibukota Kabupaten Karawang ke Sindangkasih pada dasarnya sama dengan perpindahan ibukota beberapa kabupaten di Priangan, yaitu untuk kelancaran jalannya pemerintahan dan kemajuan kehidupan pemerintah serta masyarakat daerah setempat.
Ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindang-kasih berdasarkan dua alasan utama. Pertama, di Wanayasa sering terjadi gangguan keamanan akibat ulah kelompok perampok. Kedua, kota Wanayasa yang terletak di bagian selatan Karawang, kurang strategis sebagai pusat pemerintahan. Perpindahan ibukota Kabupaten Karawang ke Sindangkasih, diperkirakan terjadi pada tahun 1830.14)
Menurut beberapa sumber tradisional, proses perpindahan itu diawali oleh pencarian tempat yang dianggap baik untuk pusat pemerintahan kabupaten. Pencarian tempat dilakukan oleh Bupati R.A. Suriawinata disertai oleh penasehatnya. Dalam upaya mencari tempat itu, bupati selalu meminta petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa melalui solat istikharah. Memang ia sangat taat menjalankan ajaran agama (Islam). Setiap waktu dan di setiap tempat, ia selalu membaca solawat. Oleh karena itu Bupati R.A. Suriawinata mendapat julukan “Dalem Solawat” dari masyarakat pribumi Karawang.
            Sindangkasih dipilih menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang menggantikan kedudukan Wanayasa, berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan itu menyangkut beberapa faktor. Pertama, letak Sindangkasih cukup strategis bagi jalannya pemerintahan, karena berada di bagian tengah daerah Karawang. Kedua, tanahnya subur dan arealnya memungkinkan untuk dikembangkan. Ketiga, memiliki sumber air, yaitu kubangan air yang kemudian dibangun menjadi Situ Buleud.

 
 


 Keempat, suhu udara di Sindangkasih cukup menyenangkan (berhawa sedang). Suhu udara demikian sangat disenangi oleh para pejabat kolonial, antara lain residen dan asisten residen. Kelima, keberadaan Cikao sebagai pelabuhan sungai, adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat daerah setempat. Dengan kata lain, Kondisi Sindangkasih waktu itu dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi Wanayasa. Pertimbangan-pertimbangan itu memang sesuai dengan tradisi masyarakat Sunda*) waktu itu dalam menentukan tempat untuk pusat pemerintahan.15)
Mengenai asal-usul tempat dan nama Sindangkasih, terdapat beberapa versi. Versi umum menyatakan, bahwa sebelum Bupati R.A. Suriawinata pindah dari Wanayasa, tempat yang kemudian diberi nama Sindangkasih, sudah berupa pemukiman dengan status kacutakan (distrik). Akan tetapi keadaannya masih berupa kampung sangat sederhana. Lahan di sekitarnya masih berupa hutan.
Versi itu juga menyebutkan, bahwa nama Sindangkasih memiliki makna yang mengacu pada arti kata sindang dan kasih. Dalam basa Sunda, sindang berarti mampir atau singgah; kasih (dari kata asih) berarti sayang atau cinta (Sunda : deudeuh, mikaresep). Menurut cerita dalam versi umum, ketika Bupati R.A. Suriawinata beserta penasehatnya sampai ke tempat tersebut, mereka mampir di perkampungan dan diterima oleh penduduk setempat dengan penuh hormat dan rasa kasih. Berdasarkan kejadian itu, kampung tersebut kemudian diberi nama Sindangkasih. Apabila cerita itu benar, pertanyaan yang timbul adalah, apa nama asal kampung tersebut? Sebuah pemukiman penduduk, sejak awal pun biasanya sudah memiliki nama. Hal itu berarti Sindangkasih adalah nama baru yang diberikan kepada kampung yang disinggahi oleh Bupati R.A. Suriawinata, dalam rangka mencari tempat untuk ibukota baru Kabupaten Karawang.

 Sindangkasih Menjadi Purwakarta

            Setelah Bupati R.A. Suriawinata menetap di Sindangkasih, sebagian dari daerah itu segera dibangun menjadi ibukota baru Kabupaten Karawang. Dapat dipastikan, pembangunan kota itu didasarkan pada pola kota tradisional, dengan ciri utama alun-alun sebagai pusat kota, pendopo di sebelah selatan alun-alun, masjid agung di sebelah barat alun-alun, dan rumah keluarga bupati di sebelah timur alun-alun. Pola kota dengan ciri-ciri tersebut memang merupakan pola kota-kota lama di Jawa Barat khususnya dan di Pulau Jawa umumnya.
            Sindangkasih sebagai ibukota Kabupaten Karawang diresmikan ber-dasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2, dengan nama baru, Purwakarta16) Akan tetapi, nama Sindangkasih tetap digunakan, yaitu sebagai nama distrik di wilayah ibukota kabupaten (sekarang menjadi nama desa). Surat keputusan tersebut adalah sumber akurat dan primer serta mengandung makna yuridis formal. Oleh karena itu, tanggal 20 Juli 1831 merupakan fakta sejarah tentang berdirinya kota/daerah bernama Purwa-karta*). Ketika Purwakarta diresmikan sebagai ibukota kabupaten, besar ke-mungkinan wilayah kota itu masih kecil.

 
            Mengapa ibukota baru itu diberi nama Purwakarta? Mengenai asal-usul dan arti nama Purwakarta pun terdapat beberapa versi. Versi umum menyatakan nama itu berasal dari kata purwa dan karta dalam bahasa Sansakerta. Purwa berarti yang pertama, karta berarti aman tentram dan tertib atau ramai. Akan tetapi penjelasan mengenai arti kedua kata itu berbeda antara satu versi dengan versi lain. Ada versi yang menghubungkan arti Purwakarta dengan perang Cina Makao. Versi lain menghubungkan kata itu dengan orang bernama Purbasari, salah seorang penasehat/kepercayaan Bupati R.A. Suriawinata yang besar peranannya dalam

mencari tempat untuk ibukota baru Kabupaten Karawang. Menurut versi itu, kara purwa berasal dari kata purba, nama bagian depan dari Purbasari. Versi mana yang paling mendekati kebenaran, memerlukan penelitian secara khusus.



*) Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Sunda, kondisi lahan yang baik untuk pusat pemerintahan harus seperti “Garuda ngupuk, bahé ngalér-ngétan, deukeut pangguyangan badak putih”. Makna ungkapan itu adalah, letak dan kondisi lahan untuk ibukota harus baik dari berbagai segi, serta dekat dengan sumber air.
*) Proses pendirian Purwakarta sebagai ibukota Kabupaten Karawang, hampir sama dengan proses pendirian kota Bandung yang diresmikan tanggal 25 September 1810 (Hardja-saputra, ed. 1999).