Senin, 27 Agustus 2012

Nilai-nilai Sejarah Purwakarta

Kota Purwakarta memiliki sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan sumber otentik berupa besluit (surat keputusan), kota Purwakarta diresmikan tanggal 20 Juli 1831. Berarti sampai saat ini kota itu telah berusia lebih dari satu abad. Dalam perjalanan sejarahnya, kota Purwakarta memiliki status dan fungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Semula sebagai ibukota Kabupaten Karawang (1831 – 1950), kemudian menjadi ibukota Kabupaten Purwakarta (1968 – sekarang).
Sejalan dengan fungsi utamanya itu, sejak awal keberadaannya di kota Purwakarta dibangun sarana dan fasilitas kota, baik untuk kepentingan jalannya pemerintahan maupun untuk kehidupan sosial budaya. Sarana dan fasilitas dimaksud terutama adalah Bumi Ageung, Pendopo, Situ Buleud, Masjid Agung dibangun oleh pihak pemerintah pribumi, dan Gedung Keresidenan, Gedung Kembar, Stasion Kereta Api dibangun oleh pihak pemerintah kolonial. Bangunan-bangunan yang didirikan oleh pihak kolonial itu, sekarang sudah menjadi milik Pemerintah Kabupaten Purwakarta.
            Berdasarkan usia, fungsi, dan kaitannya dengan sejarah kota Purwakarta, sekarang bangunan-bangunan dan tempat itu termasuk ke dalam kategori Benda Cagar Budaya (BCB). Untuk memahami nilai sejarah bangunan-bangunan dan tempat tersebut, sejarah kota Purwakarta perlu diketahui, walaupun secara garis besar[1]).
            Semula kota Purwakarta adalah ibukota Kabupaten Karawang[2]). Ketika kabupaten itu diperintah oleh Bupati R.A. Suriawinata (1829 – 1849), ibukota kabupaten dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih. Hal itu terjadi karena Wanayasa kurang memadai sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Pemindahan ibukota kabupaten adalah gagasan bupati yang disetujui oleh asisten residen yang berkedudukan di Karawang dan residen di Batavia. Diduga perpindahan itu terjadi pada paruh pertama tahun 1830.
Menurut sumber tradisional, proses perpindahan itu diawali oleh pencarian tempat yang dianggap baik untuk pusat pemerintahan kabupaten. Pencarian tempat dilakukan oleh Bupati R.A. Suriawinata disertai oleh penasehatnya. Dalam upaya mencari tempat itu, bupati selalu meminta petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa melalui solat istikharah. Memang bupati sangat taat menjalankan ajaran agama (Islam). Setiap waktu dan di setiap tempat, ia selalu membaca solawat. Oleh karena itu Bupati R.A. Suriawinata mendapat julukan “Dalem Solawat” dari masyarakat pribumi Karawang.
            Daerah Sindangkasih dipilih menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang menggantikan kedudukan Wanayasa, berdasarkan beberapa per-timbangan. Pertama, letak Sindangkasih cukup strategis bagi jalannya pemerintahan, karena berada di bagian tengah daerah Karawang. Kedua, tanahnya subur dan arealnya memungkinkan untuk dikembangkan. Ketiga, tempat itu memiliki sumber air, bahkan terdapat kubangan air yang biasa digunakan oleh badak untuk berkubang. Keempat, suhu udara di Sindangkasih cukup menyenangkan (berhawa sedang). Suhu udara demikian sangat disenangi oleh para pejabat kolonial (asisten residen dan residen). Kelima, keberadaan Cikao sebagai pelabuhan sungai, adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat daerah setempat. Dengan kata lain, kondisi Sindangkasih waktu itu dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi Wanayasa. Pertimbangan-pertimbangan itu memang sesuai dengan tradisi masyarakat Sunda[3]) waktu itu dalam memilih tempat untuk pusat pemerintahan.
Pada waktu itu, Sindangkasih sudah berupa pemukiman dengan status kacutakan (distrik) di wilayah Kabupaten Karawang. Akan tetapi keadaannya masih berupa kampung sangat sederhana. Sebagian lahannya, terutama di bagian utara, masih berupa hutan. Pada lahan hutan itulah kemudian Bupati R.A. Suriawinata membangun ibukota baru Kabupaten Karawang.
            Sesuai dengan budaya zamannya, ibukota kabupaten dibangun ber-dasarkan pola kota tradisional. Di pusat bakal kota dibangun alun-alun, seiring dengan pembangunan sarana dan fasilitas lainnya, yaitu Pendopo, Situ (danau) Buleud sebagai sumber air, dan Masjid Agung. Boleh jadi, pembangunan ibu kota baru beserta sarana dan fasilitasnya pada tahap awal, sepenuhnya dilakukan oleh penduduk setempat dipimpin langsung oleh bupati. Ibukota baru Kabupaten Karawang di Sindangkasih, diremikan berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 2 tanggal 20 Juli 1831 dan diberi nama Purwakarta, atas usul bupati dan masyarakat setempat. Nama itu diusulkan sesuai dengan situasi kehidupan di tempat itu yang mulai menunjukkan kemajuan (Purwa berarti pertama, dan Karta berarti tentram dan ramai).
Kondisi kota Purwakarta makin berkembang pada masa pemerintahan Bupati R.T.A. Sastra Adiningrat I (1854 – 1863). Tahun 1854, beberapa sarana yang telah ada, diperbaiki. Pendopo dan masjid agung direnovasi. Alun-alun dan Situ Buleud diperbaiki dan diperluas. Dibangun pula kantor/rumah asisten residen, penjara, dan jalan di pusat kota, dan lain-lain. Tahun 1863 di kota Purwakarta telah berdiri sebuah “sekolah kabupaten”, dengan jumlah murid 41 orang. Tahun berikutnya jumlah murid bertambah 22 orang, sehingga menjadi 63 orang.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A. Sastra Adi-ningrat II (1863 – 1886), kehidupan di Purwakarta tambah meningkat. Kondisi itu ditunjukkan oleh peningkatan jumlah penduduk, perkembangan transportasi dan komunikasi, perekonomian, dan lain-lain. Tahun 1871, status Purwakarta dalam struktur pemerintahan kolonial berubah dari afdeling menjadi kontrole-afdeling. Hal itu berarti kota Purwakarta berkedudukan rangkap, yaitu sebagai ibukota kabupaten, ibukota distrik, kontrole-afdeling, dan ibukota keresidenan. Pada tahun yang sama di Purwakarta sudah berdiri 22 sekolah madrasah dengan jumlah murid 367 orang, terdiri atas 4 orang dewasa dan 363 anak remaja usia sekitar 15 tahun. Tahun berikutnya, di Purwakarta sudah berdiri sebuah ELS (Europesche Lagere School), sekolah rendah untuk anak-anak Eropa, dengan jumlah murid 19 orang. Keberadaan madrasah dalam jumlah banyak, mencerminkan berlangsungnya kehidupan beragama (Islam). Hal itu tentu tidak terlepas dari kekuasaan atau wewenang bupati. Atas keberhasilan memajukan daerahnya, Bupati R.A.A. Sastra Adiningrat II mendapat tanda jasa dari pemerintah kolonial berupa bintang “Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw”. Oleh karena itu ia dijuluki “Dalem Bintang” oleh masyarakat pribumi.
Tahun 1884, wilayah Kontrole-Afdeling Purwakarta makin luas. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Bupati R.T.A. Sastra Adiningrat III (1886–1911), sebutan kontrole-afdeling bagi Purwakarta dihapuskan. Purwakarta kembali menjadi afdeling. Namun, dinamika kehidupan di Purwakarta cenderung meningkat.
Kehidupan di Purwakarta makin berkembang setelah daerah itu dilewati oleh jalan kereta api dari Jakarta (Batavia) ke Padalarang lewat Karawang. Jalur kereta api Karawang – Purwakarta (41 kilometer) diresmikan tanggal 27 Desember 1902. Jalur itu sampai di Padalarang tahun 1906, bersambung dengan jalur pertama Batavia – Bandung lewat Cianjur. Transportasi kereta api melewati kota Purwakarta, menyebabkan kota yang terletak antara Batavia dan Bandung menjadi tempat yang strategis, sehingga dinamika kehidupan di kota itu makin meningkat.
Letak strategis itu pula yang menyebabkan kota Purwakarta pada zaman pendudukan Jepang (1942 – 1945) dikuasai oleh sebagian tentara Jepang. Pada zaman revolusi kemerdekaan (1945 – 1950), Purwkarta menjadi medan perjuangan melawan tentara Sekutu dan NICA/Belanda. Sampai akhir revolusi kemerdekaan, Purwakarta tetap menjadi ibukota Kabupaten Karawang.
Pada masa Negara Pasundan (1949 – awal 1950), Purwakarta menjadi kabupaten yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Wali Negara Pasundan No. 12 tanggal 29 Januari 1949. Dengan surat keputusan itu, pemerintah Negara Pasundan memecah wilayah Kabupaten Karawang menjadi dua kabupaten. Daerah Karawang bagian barat meliputi tiga kewedanan (Karawang, Rengasdengklok, dan Cikampek) menjadi Kabupaten Karawang dengan ibukota Karawang. Daerah Karawang bagian timur mencakup lima kewedanan (Purwakarta, Subang, Ciasem, Pamanukan, dan Sagalaherang) menjadi Kabupaten Purwakarta dengan ibukota di Subang, diperintah oleh Bupati R.M. Hasan Suria Sacakusumah.
Eksistensi Kabupaten Purwakarta di lingkungan Negara Pasundan berlangsung sampai dengan tanggal 11 Maret 1950, karena pada tanggal itu Negara Pasundan dibubarkan oleh pemerintah RIS. Selanjutnya pemerintah RI – berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1950 – membentuk lagi Kabupaten Purwakarta membawahi lima kewedanan yang sama seperti masa Negara Pasundan, dengan ibukota Subang (1950 – 1968).
Beberapa waktu kemudian, masyarakat Purwakarta memohon kepada pemerintah agar Kabupaten Purwakarta beribukota di kota Purwakarta. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pemerintah pusat – berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1968 – pengganti Undang-Undang No. 14 tahun 1950 – menetapkan berdirinya Kabupaten Purwakarta baru dengan ibukota Purwakarta. Tanggal 12 Juli 1968, Menteri Dalam Negeri Basuki Rahmat melantik R.H. Sunarya Ronggowaluyo menjadi bupati Purwakarta, menggantikan Letkol R.H. Acu Syamsudin, sekaligus meresmikan kota Purwakarta sebagai ibukota Kabupaten Purwakarta.
Pada setiap zaman yang dialami oleh kota/Kabupaten Purwakarta, bangunan-bangunan dan tempat yang merupakan komponen (infrastruktur) utama kota, yaitu Pendopo, Bumi Ageung, Situ Buleud, Masjid Agung, Gedung Keresidenan, Gedung Kembar, dan Stasion Kereta Api, masing-masing memiliki fungsi dan/atau makna penting, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat, sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Dalam fungsi dan makna penting itulah letak nilai sejarah bangunan-bangunan dan tempat tersebut. Pada satu sisi merupakan sumber artefak yang bernilai tinggi. Pada sisi lain, bangunan-bangunan dan tempat itu merupakan sarana penting dalam dinamika kehidupan kota Purwakarta, dari kota tradisional berangsur-angsur berkembang menjadi kota modern seperti keadaan sekarang.



[1]) Uraian garis besar sejarah kota Purwakarta berasal dari Sejarah Purwakarta (2004), hasil Tim Penelusuran Sejarah Purwakarta dengan editor Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A.
[2]) Kabupaten Karawang (berdiri kira-kira awal tahun 1630-an) pertamakali beribukota di Udugudug. Beberapa waktu kemudian, ibukota kabupaten itu pindah ke kota Karawang, kemudian pindah pindah lagi ke Wanayasa (Hardjasaputra, ed., 2004).
[3]) Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Sunda, kondisi lahan yang baik untuk pusat pemerintahan harus seperti “Garuda ngupuk, bahé ngalér-ngétan, deukeut pangguyangan badak putih”. Makna ungkapan itu adalah, letak dan kondisi lahan untuk ibukota harus baik dari berbagai segi, serta dekat dengan sumber air (Hardjasaputra, 2002 : 27).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar