1.1
PENDAHULUAN
PNS merupakan aset nasional yang
bertugas menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di segala
bidang. Pengalaman yang lalu membuktikan, keberadaan PNS mampu menjaga dan
mengawal perjalanan bangsa, meskipun diwarnai berbagai gelombang pasang surut
dinamika politik yang menggelora. PNS yang netral dan profesional ternyata
dibutuhkan oleh masyarakat agar pelaksanaan pemerintah dapat berjalan secara
efektif untuk melayani masyarakat secara merata.
Meski demikian masih terdapat stigma negatif mengenai PNS yang cenderung dinilai malas, kurang profesional, boros, diliputi KKN dsb. Masyarakat juga menilai masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan/seleksi CPNS, misalnya praktek sogok menyogok dsb.Padahal masyarakat mengharapkan pelayanan yang optimal sejak mulai dari pembuatan akta kelahiran hingga surat kematian.
Meski demikian masih terdapat stigma negatif mengenai PNS yang cenderung dinilai malas, kurang profesional, boros, diliputi KKN dsb. Masyarakat juga menilai masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan/seleksi CPNS, misalnya praktek sogok menyogok dsb.Padahal masyarakat mengharapkan pelayanan yang optimal sejak mulai dari pembuatan akta kelahiran hingga surat kematian.
Sistem dan nilai yang tergambar di dalam adat istiadat
kebiasaan, kesenian, hubungan kemasyarakatan dan lain-lain adalah unsur
kebudayaan, sebagaimana faktor keagamaan sangat berpengaruh besar pada pola
sikap, pola pikir dan pola tindak manusia. Kondisi itu tidak terkecuali bagi
aparatur pemerintah tanggungjawab melaksanakan tugas kepemerintahan dan
pembangunan dalam perjalanan dan maju terus seperti pada akhir.
Dalam
kehidupan berbagai negara dan bangsa di berbagai belahan dunia, berkembangnya birokrasi
merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang
kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa, disamping melakukan
pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan
politik kedalam berbagai kebijakan publik. Dan disamping itu berfungsi untuk
melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara
operasional.
Birokrasi
merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan termasuk
dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean goverment) dalam
keseluruhan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good
governance). Opini yang berkembang
dari pakar dan pengamat ekonomi dan
politik serta tokoh masyarakat Indonesia dan international baik melalui media
masa maupun pada forum-forum lainnya menyatakan bahwa dibanding korupsi yang
terjadi di berbagai negara lain, fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia
sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan, korupsi telah
menjadi sesuatu yang sistemik, sudah menjadi suatu system yang menyatu dengan
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Upaya
pemberantasan korupsi yang selama lebih
dari 44 tahun tahun dilakukan, baik pada orde lama dan orde baru, maupun era
reformasi selama ini, belum menunjukan hasil seperti yang kita harapkan.
Korupsi merupakan penyakit kronis berkembang terus.
1.2.
Kompetensi SDM PNS
Sosok birokrat ataupun SDM aparatur (Pegawai Negeri Sipil)
seyogyanya penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, netral,
rasional, demokratik, inovatif mandiri memiliki integritas yang tinggi serta
menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Peningkatan
profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan
mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut:
1)
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan
mencapai cita-cita dan tujuan bernegara,
2)
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban
tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik,
3)
berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil,
kreatif dan inovatif,
4)
taat asas, dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat
dan etika profesional, (e) memiliiki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat
(akuntabilitas),
5)
memiliki jati diri sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat, serta bangga terhadap profesinya sebagai pegawai negeri
6)
memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab
dalam membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan
7)
memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas.
Selanjutnya,
reformasi birokrasi baik di pusat maupun di daerah-daerah perlu memperhatikan
aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip berikut. :
Pertama, demokrasi dan
pemberdayaan.
Hidupnya
demokrasi dalam suatu negara bangsa dicerminkan oleh adanya pengakuan dan
penghormatan negara dan seluruh unsur aparatur negara atas hak dan kewajiban
warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan
diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan
negara dan pembangunan bangsa, dan pemberdayaan bagi mereka yang dalam posisi
lemah secara rasional dan berkeadilan. Demokrasi tidak hanya mempunyai makna
dan berisikan kebebasan, tetapi juga tanggung jawab; demokrasi juga mengandung
tuntutan kompetensi dan bermakna kearifan dalam memikul tanggung jawab dalam
mewujudkan tujuan bersama yang dilakukan berkeadaban, disertai komitmen tinggi
untuk menegakan kepentingan publik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.
Dalam
rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran
pemerintah dapat reinventing antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan
kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan
akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat,
dan (e) pengembangan program untuk lebih meningkatkan keamampuan dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan
mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai
tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kedua, pelayanan.
Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat (a
spirit of public services) dan menjadi mitra masyarakat (partner of
societ) atau melakukan kerja sama dengan masyarakat (coproduction atau
partnership). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain
dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical
conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling
strategy) yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat
diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat
maupun di daerahdaerah.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi
dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain
dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan
menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana,
bukan 'berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya
untuk segelintir orang". Makna administrasi publik sebagai wahana
penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya "melayani
publik", harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara
baik pusat dan daerah
Ketiga, transparansi.
Dalam
pelaksanaan tugas dan fungsinya disamping mematuhi kode etik, aparatur dan
sistem manajemen publik harus mengembang,kan keterbukaaan dan sistem
akuntabilitas, bersikap terbuka dan bertanggung jawab untuk mendorong para
pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan
dan melembagakan kode etik dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka
sebagai panutan masyarakat; dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan
tanggung jawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.
Upaya
pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan,
selain memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga memerlukan
langkah-Iangkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang
menghambat kreativitas dan aktivitas mereka. serta memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan
kebijaksanaan pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan
keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya
dan adanya keputusankeputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai
prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Keempat, partisipasi.
Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasiikan public good and
services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan
semata mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat. ("empowering
rather than serving"), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan
kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
Rumusan
pemberdayaan (empowerment") juga selalu dikaitkan dengan pendekatan
partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan
pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil
yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan
pembangunan. Dalam hubungan itu perlu dicatat pentingnya peranan keswadayaan
masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah
peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan ("capacity building").
Jangan diabaikan pula penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan
peluang pembangunan nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah;
serta privatisasi dalam pengelolaan usaha-usaha negara
Kelima, kemitraan.
Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang
saling menguntungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan
pemerintah ditujukan kearah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam
menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijaksanaan
dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan berskala
usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa,
dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta
pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional,
serta mendorong proses pertumbuhannva Dalam proses tersebut adanya kepastian
hukum sangat diperlukan.
Keenam, Desentralisasi
Perubahan-perubahan
yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan dan
pelayanan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi,
kewenangan, dan tangungjawab yang ada di daerah. Karena pembangunan pada
hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah berbagai kewenangan yang selama ini
ditangani oleh pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah.
Langkah-Iangkah serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia
usaha, khususnya perusahaanperusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta,
sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di
daerah.
Perbedaan perkembangan antar daerah mempunyai implikasi yang berbeda pad
a macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan
dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan
efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang
sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih
nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal dan sistem perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengari kontribusi dan potensi
pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi
mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada
daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Ketujuh, konsistensi
kebijakan, dan kepaslian hukum.
Tegaknya hukum yang berkeadilan secara efektif merupakan jasa
pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, justru di tengah
kemajemukan merajalelanya KKN termasuk money politics, berbagai
ketidakpastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya persaingan.
Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian kebijakan dan
perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian
hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator profesionalisme dan syarat
bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan
pemenntahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan intemasional.
Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai
kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya
harus dituangkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan hukum
dan sekaligus mengandung kepastian hukum.
Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka
keberpihakan : birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar
serta dapat mepertahankan posisi netralnya. Akuntabilrtas kinerja instansi
pemerintah ini juga akan menjadi semacam sistem pengendalian internal bagi
birokrasi.
1.3 Pelayanan Publik
Pelayanan
publik dewasa ini menjadi isu yang semakin strategis karena tingkat kualitas
kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam berbagai
aspek kehidupan. Perbaikan kinerja pelayanan birokrasi di bidang ekonomi
misalnya, akan dapat mendorong terciptanya iklim yang kondusif pada kegiatan
usaha dan investasi. Hal ini amat diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk bisa
keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Harus diakui bahwa di bidang
ini masih banyak kelemahan yang kita rasakan, sehingga tidak heran kalau
pertumbuhan ekonomi, investasi, dan peluang lapangan kerja tidak berkembang
seperti yang diharapkan.
Secara politis, perbaikan kinerja pelayanan birokrasi
akan berdampak tumbuhnya kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap
pemerintah. Sebaliknya kinerja birokrasi yang buruk akan menjadi salah satu
faktor pendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki
kembali citra pemerintahan dimata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan
publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun
kembali, sehingga legitimasi pemerintah akan semakin lebih kuat.
Di
sisi lain, harus pula diakui bahwa jajaran birokrasi telah berusaha keras
memperbaiki kinerja pelayanannya kepada publik. Kita tidak boleh menutup mata
bahwa sejumlah Kepala Daerah/Bupati/Walikota telah membuka hot line
pengaduan masyarakat selama 24 jam terhadap berbagai pelayanan yang kurang
memuaskan. Sejumlah unit-unit pelayanan telah memperoleh ISO 9000 karena
keberhasilannya dalam memperbaiki business process pelayanannya, antara
lain penggunaan teknologi informasi (TI) yang telah meningkatkan efisiensi dan
transparansi pelayanan.
Pelaksanaan
Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa
perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu
adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang
pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat
birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan
publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih
diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit
ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta
terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya
kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat
dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di
samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di
mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan.
Paradigma pemerintahan yang masih belum
mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku
aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk
dilayani bukannya untuk emlayani. Padahal pemerintah seharus melayani bukan
dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini,
seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula
semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam
membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani,
bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat",
"mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan
berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk
segelintir orang"
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerihtah
mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan
publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang
semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang
berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak
ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain
sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan
menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan
publik.
Berkaitan
dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih
memiliki berbagai kelemahan, antara lain:
* Kurang
responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan,
mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan
tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi,
maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
* Kurang informatif. Berbagai
informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan
tidak sampai kepada masyarakat.
* Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak
jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang
memerlukan pelayanan tersebut.
* Kurang
koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sang
at kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun
pertentangan kebijakan antara satu instansi l3elayanan dengan instansi
pelayanan lain yang terkait.
* Birokratis.
Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan
melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan
penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian
masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk
dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat
sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk
diselesaikan.
* Kurang
mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat
pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu.
* Inefisien.
Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan)
seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada
disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan
kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi
berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk
melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi
penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga
menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Pada dasarnya pelayanan publik harus
mencantumkan tiga hal pokok yang harus dituliskan pada semua tempat pelayanan,
yakni apa syarat-syaratnya, berapa biayanya, kapan selesainya, serta siapa yang
melayani dan di mana tempat pelayanannya. Dalam penerapannya, maka pelaksanaan
pelayanan publik senantiasa berazaskan kepada kepastian hukum, keterbukaan,
partisipatif, akuntabilitas, kepentingan umum, profesionalisme, kesamaan hak,
dan keseimbangan hak dan kewajiban.
Pelayanan publik merupakan salah satu
fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh penyelenggara
negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan
publik, serta lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah.
Pemantauan atas pelaksanaan pelayanan
publik yang komprehensif dan terpadu, dapat berfungsi efektif apabila didukung
oleh peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan dan sanksi yang jelas.
Sanksi ini dapat dilaksanakan apabila petugas pelayanan melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan penyelenggaraan pelayanan publik yang menimbulkan kerugian
bagi masyarakat. Pelayanan publik yang baik memerlukan sanksi dan ancaman
hukuman yang tegas dan bersifat memaksa yang hanya dapat ditetapkan dalam
undang-undang.
Saat ini peraturan perundang-undangan di
bidang pelayanan publik masih terfragmentasi pada berbagai sektor dalam
berbagai bentuk dan belum cukup mengatur aspek pelayanan publik yang
diperlukan. Terwujudnya peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik
akan memberikan kepastian bagi seluruh aparatur pemerintah dalam melaksanakan
pelayanan publik sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Di sisi lain,
peran masyarakat sangat diperlukan untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pelayanan.
1.4 NETRALITAS PNS
Pegawai
Negeri di Indonesia (Pegawai Negeri Sipil dan anggota Kepolisian Indonesia)
harus taat dan setia kepada pemerintah – selain kepada UUD 1945, Pancasila, Negara, dan UU . Persoalan
reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik atau good governance
(pemerintahan yang baik) selalu dikaitan dengan pegawai negeri sipil (PNS), yang pengelola administrasi negara. Bagaimana
caranya mereformasi birokrasi? Salah satu tuntutan terhadap PNS Indonesia adalah netralitas.
Beberapa
orang yang memahami pegawai negeri sebagai abdi negara berpendapat, pegawai
negeri justru harus berpihak, yakni kepada rakyat, melayani kepentingan publik.
Kalau mereka harus netral, netral terhadap apa dan siapa? Lagi pula, mengapa
pegawai harus netral? Pegawai negeri,
sipil maupun militer, adalah birokrat, adalah merupakan aparat pemerintahan,
yang artinya: pegawai negeri adalah alat, adalah pembantu bagi pemerintah”.
Pemerintah
adalah pihak yang karena proses pemilihan umum, baik legislatif maupun
(terutama) eksekutif dipilih oleh rakyat (publik) untuk mengelola jalannya
kehidupan bernegara dan berbangsa. Pemerintah adalah sekelompok orang yang
dipilih melalui seleksi politis (pemilu), sedangkan birokrat adalah orang-orang
yang diangkat berdasarkan karier, berdasarkan kriteria kinerja sektoral.
Karena
birokrat hanyalah merupakan aparat, merupakan alat, dari pemerintah yang
dipilih secara politis itu, maka birokrat haruslah taat kepada perintah
pemerintah, dari manapun partai politik si master itu berasal. Artinya,
birokrasi haruslah yang netral terhadap partai politik peserta pemilu, karena
mereka harus melayani siapa pun pemenang pemilu itu. Netralitas pegawai negeri
yang dimaksud, adalah netralitas terhadap partai politik peserta pemilu. Namun,
jika pegawai negeri adalah alat, adalah pembantu bagi pemerintah, lalu
bagaimana pegawai negeri bisa netral? Selanjutnya, bagaimana dengan netralitas
pegawainegeri yang bekerja di lembaga-lembaga non-pemerintah (legislatif,
yudikatif atau Komisi Pemilihan Umum).
Banyak sekali landasan hukum PNS bersikap netral dalam urusan
politik praktis. Di antaranya UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP
5/1999 jo PP 12/1999, keduanya memberi rambu tegas (larangan) bagi PNS menjadi
anggota, apalagi pengurus partai politik.
Netralitas PNS dalam pemilu legeslatif, secara tegas
dinyatakan pada Pasal 75 UU 12/2003 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan
DPRD. Ayat (3) Pasal itu berbunyi: "Partai politik peserta pemilu dan/atau
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dilarang melibatkan
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye, dan juru
kampanye dalam pemilu".
Seharusnya, hak politik PNS yang memang hanya di bilik suara itu,
dijunjung tinggi seluruh pejabat negara, struktural dan fungsional dalam
jabatan negeri, maupun kepala desa (sebutan lain), sesuai perintah
undang-undang. Sebab, berbeda dengan anggota TNI dan Polri, yang -sesuai
perintah hukum- tidak menggunakan hak suara, PNS (masih) berhak menggunakan hak
politik warga negara, di bilik suara.
Selain di bilik suara, PNS tidak boleh melibatkan diri secara
langsung atau tak langsung, sengaja atau tak sengaja, dalam seluruh bentuk
keberpihakan PNS kepada peserta pemilu legeslatif lalu. Juga diharamkan
berkepihakan kepada pasangan capres/cawapres tertentu pada pilpres mendatang.
Konsisten
dengannya, setiap PNS tidak dibenarkan oleh hukum untuk menjadi tim sukses atau
tim kampanye pasangan capres/cawapres yang mana pun. PNS pun dilarang ikut dalam
kampanye pemilu, baik pemilu legesIatif maupun pemilihan presiden. PNS juga
tidak diizinkan memengaruhi warga masyarakat untuk memilih, atau tidak memilih
parpol atau perorangan peserta pemilu legislatif 5 April lalu, sebagaimana
tidak juga diperkenankan menonjolkan kelebihan pasangan capres/cawapres
tertentu, sembari menjelek-jelekkan pasangan calon lainnya.
Banyak
kalangan menuntut para abdi negara mampu menjaga netralitasnya untuk
memperbaiki kinerja dalam layanan publik. Tapi, kinerja pegawai sipil tampak
masih banyak bolong di sana-sini. Bagaimana menutupi bolong-bolong itu?
Di era reformasi sekarang ini pun, masih banyak yang meragukan
netralitas PNS, yang di masa lalu memiliki patron politik yang lekat dengan
Orde Baru. Selain itu, masih banyak pejabat tinggi yang berkuasa sekarang, di
masa lalu adalah bagian dari arsitek Orde Baru, yang kini tetap bercokol di
lembaga pemerintahan. Di negara-negara ekonomi maju, seperti Jepang, Eropa dan
Amerika, persoalan netralitas korps pegawai sipil tidak lagi menjadi
perbincangan, mengingat sistem yang dibuat membuat PNS lepas dari pengaruh
politik partai yang berkuasa. Kelemahan mendasar adalah di sisi pelayanan
publik dan menonjolnya budaya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di tubuh para
birokrat.
Kini aparatur negara mulai menata diri. melalui lembaga Korpri,
mereka meminta kepada para pejabat negara, pemuka partai politik, dunia usaha
besar dan kecil serta elemen masyarakat agar bisa mendudukkan PNS lebih
profesional (good governance). Netralitas PNS menjadi tuntutan semua pihak.
Apalagi dalam menghadapi situasi dan kondisi seperti sekarang, Kopri harus
mampu memiliki ketahanan dan kemampuan dalam menghadapi pengaruh luar.
Secara
obyektifk korpri menjadi sangat strategis, paling tidak berpotensi menjadi salah
satu agen untuk proses perubahan birokrasi sehingga mampu berjalan sesuai
dengan pembaharuan struktural dan penyiapan aspek kulturalnya. Kedudukan
strategis tersebut a.l Korpri menjadi mitra kerja dari pemerintah dan bukan
serikat pekerja yang terpisah dari negara. Faktor ini memudahkan Korpri menjadi
pengarah yang baik dalam meningkatan mutu sistem birokrasi.
Salah satu
faktor dan aktor utama yang turut berperan dalam perwujudan pemerintahan yang
bersih (clean government) dan kepemerintahan yanq baik (good govenance) adalah
birokrasi. Dalam posisi dan perannya yang demikian penting dalam pengelolaan
kebijakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan efisiensi dan
kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Undang-undang
telah ditetapkan oleh DPR dan diundangkan oleh perintah dan berbagai kebijakan
publik yang dituangkan dalam berbagai bentuk aturan perundang-undangan yang
dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan, akan dapat
dikelola secara efektif oleh pemerintah apabila terdapat "birokrasi yang
sehat dan kuat', yaitu "birokrasi yang profesional, netral, terbuka,
demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara, dalam
mengemban misi perjuangan dalam
mewujudkan cita-cita dan tujuan
bernegara tertentu; birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau
pun memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak penguasa.
Dengan
makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan
kegiatan pembangunan, pengembangan sistem manajemen pemerintahan perlu
diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan
kebijakan dan pelayanan publik yang berkepastian hukum, kondusif, transparan
dan akuntabel, disertai dukungan sistematika yang terarah. Peran birokrasi
lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator
baqi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya
kompetensi dan produktivitas masyarakat dan dunia usaha di seluruh wilayah
negara. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi baqian dan
masyarakat yang terus belajar (learning community), mengacu pada terwujudnya
masyarakat maju, mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi.
1.5 KENAIKAN GAJI, KESEJAHTERAAN DAN PELAYANAN PNS
Kesejahteraan
aparatur yang terkait langsung dengan gaji pegawai, jaminan sosial, serta
fasilitas hidup lainnya sangat jauh dari memuaskan. Inilah salah satu faktor
penting yang menyebabkan pelaksanaan pelayanan publik selama ini tidak sesuai
dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Rendahnya tingkat kesejahteraan PNS
diyakini telah mendorong mereka ke arah perbuatan tercela dengan melakukan
penyelewengan dan KKN.
Menjadi
pegawai negeri merupakan suatu pilihan profesi karier, sehingga merupakan suatu
hal yang wajar menuntut standar gaji untuk memenuhi kompensasi beban tugas,
tanggung jawab, kualifikasi, prestasi, periode waktu kerja serta tingkat biaya
hidup. Namun, sistem gaji PNS saat ini belum menggunakan sistem merit yang mempertimbangkan
prestasi kerja, akibatnya PNS yang rajin dan tekun maupun yang malas dalam
melaksanakan tugasnya menerima gaji yang sama besarnya. Dengan demikian tidak
terjadi korelasi antara kebijakan mengenai gaji dengan tingkat produktivitas
PNS. Sehingga istilah PGPS yang asalnya singkatan dari Peraturan Gaji Pegawai
Sipil seringkali diplesetkan menjadi Pintar Goblok Pendapatan Sama.
Padahal
esensi dari suatu kebijakan remunerasi itu seharusnya didasarkan atas
prinsip-prinsip yang meliputi: (a) dapat menarik sumber daya manusia yang
berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan sekaligus mampu
mempertahankan pekerja yang berkualitas yang sudah ada dalam organisasi; dan
(b) menyediakan reward terhadap pegawai yang berperilaku sesuai dengan
yang diinginkan oleh organisasi (desired behaviour), seperti perestasi
kerja, patuh, disiplin, berpengalaman, bertanggung jawab, dan lain
sebagainya.
Gejala yang tidak adil tersebut dalam jangka
waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos kerja dan disiplin kerja
pegawai. Semangat, disiplin, dan etos kerja yang rendah merupakan sumber
malapetaka terhadap birokrasi pemerintah. Apabila ini dibiarkan berlanjut
aparatur pemerintah akan semakin terdorong untuk mencari sumber-sumber lain
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mengabaikan tugas dan fungsi pokoknya
sebagai abdi negara dan masyarakat. Individu-individu tersebut cenderung
melakukan perbuatan ilegal (KKN) yang menjadi pathologi dalam tubuh birokrasi
pemerintah sebagaimana yang terjadi dewasa
Upaya
untuk meningkatkan derajat profesionalisme PNS agar dapat menjalankan tugas
pelayanan yang lebih responsive, tepat waktu dan berkualitas, diperlukan
perbaikan kualitas hidup dan terciptanya sistem kesejahteraan PNS yang dapat
mendorong motivasi kerja, memproteksi kesehatan, membantu penyediaan rumah dan
memproteksi kehidupan purna tugas. Perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan
PNS dapat ditempuh dengan program baik jangka pendek maupun jangka panjang
serta mempertimbangkan kemampuan pemerintah dalam mewujudkan program tersebut,
sehingga strategi dan kegiatan nyata dapat terwujud.
Pada
tahun 2006 diupayakan memberikan kenaikan gaji pokok PNS golongan rendah dengan
prosentase kenaikan yang lebih tinggi, yaitu 30 persen dengan menetapkan
standar kebutuhan hidup layak beserta keluarganya. Adapun PNS yang memiliki
golongan ruang dan jabatan yang lebih tinggi prosentase kenaikannya lebih
rendah yaitu eselon I 15 persen, eselon II 20 persen serta pejabat Negara
sebesar 10 persen.
Tahun
2008 diupayakan sistem penggajian yang ideal, yaitu system penggajian yang
didasarkan pada merit sistem dengan mempertimbangkan 4 ( empat ) pilar yang
mendukungnya. . Keempat pilar tersebut adalah klasifikasi jabatan, kompetensi
jabatan, penilaian kinerja dan kompensasi pegawai.
Upaya perbaikan
kesejahteraan PNS dibarengi / diperkuat dengan komunikasi politik, karena
pemerintah perlu mendapat dukungan dan persetujuan dari DPR, dan perlu kiranya
dilakukan komunikasi publik untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan
memberi keyakinan bahwa perbaikan kesejahteraan PNS penting untuk peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dan kinerja PNS, untuk itu Pemerintah perlu
menetapkan keputusan tentang grand design reformasi sistem remunerasi PNS
dengan schedule yang jelas dan tindakan yang nyata, sehingga guna mewujudkan
equity dalam penggajian perlu diterapkan standar gaji nasional untuk semua
penyelenggara Negara, sehingga pemerintah dapat menetapkan peraturan yang
meniadakan disikriminasi dalam system penggajian.
Para PNS di seluruh Indonesia tentu bergembira karena kenaikan gaji bukan hanya akan menambah besarnya gaji yang selama ini diterima, tetapi juga akan menambah daya beli dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), gaji pokok PNS dinaikkan sebesar Rp 150.000,00 merata untuk seluruh PNS. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden Susilo, gaji PNS sudah dinaikkan sebesar 15% pada tahun 2006 dan akan dinaikkan lagi sebesar 15% pada tahun 2007. Ini berarti selama dua tahun berturut-turut yakni 2006 dan 2007 dalam masa pemerintahan Presiden Susilo kenaikan gaji PNS mencapai 30%. Tak dapat disangkal bahwa baik pemerintahan sebelumnya maupun pemerintahan Presiden Susilo mempunyai dalih atau alasan yang sama dalam menaikkan gaji PNS.Paling tidak ada dua dalih atau alasan mengapa pemerintah menaikkan gaji PNS Alasannya adalah meningkatkan kesejahteraan PNS dan pelayanan kepada masyarakat. Diharapkan, dengan kenaikan gaji PNS, kesejahteraan PNS akan meningkat. Begitu pula, dengan meningkatnya kesejahteraan PNS akan meningkat pula pelayanan PNS kepada masyarakat. Akan tetapi, pertanyaannya apakah kedua dalih ini dapat terwujud secara baik?
Walaupun gaji PNS dinaikkan, masih ada keraguan dari kalangan PNS akan naiknya kesejahteraan mereka. Keraguan tersebut muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya bahwa rencana kenaikan gaji PNS selalu diikuti oleh lonjakan harga bahan kebutuhan pokok, barang-barang dan jasa lainnya. Fenomena yang terjadi sebelumnya, manakala pemerintah mengumumkan rencana kenaikan gaji PNS, maka harga barang-barang dan jasa-jasa di pasaran sudah naik mendahului realiasi kenaikan gaji tersebut. Dengan kata lain, sebelum kenaikan gaji diterima, harga barang-barang di pasaran sudah naik.
Selain itu, kenaikan sebesar 15% akan menambah kurang lebih Rp 225.000,00 kalau gaji pokok sebesar Rp 1.500.000,00 per bulan. Sementara itu, kebutuhanjuga meningkat baik jenis maupun jumlahnya. Dari fenomena ini, kebanyakan PNS berangapan bahwa dampak dari kenaikan gaji terhadap kesejahteraan PNS belum terlalu signifikan. Dalam kenyataannya, kenaikan gaji belum mencukupi kebutuhan keluarga yang beragam.
Anggapan semacam ini didasarkan pada upaya untuk menghubungan ada tidaknya pengaruh kenaikan gaji dengan kenaikan harga barang-barang termasuk sembilan bahan kebutuhan pokok. Coki Ahmad Syahwier (18 Agustus 2006), pengamat ekonomi dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung (Jabar) mengemukakan bahwa dalam konteks sekarang, fenomena itu tidak ada lagi karenaharga kebutuhan pokok di pasaran sudah pada naik sebelum diumumkan kenaikangaji PNS. Kenaikan itu tidak disebabkan oleh kenaikan gaji PNS tetapi olehsebab lain seperti faktor musim. Musim kemarau mempengaruhi harga sector pertanian seperti sayur-sayur dansebagainya karena permintaan di pasaran lebih tinggi dibandingkan dengan suplai. Faktor lainnya adalah hari raya keagamaan misalnya menjelang bulan puasa dan lebaran mempengaruhi kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Jadi, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok sebenarnya tidak disebabkan oleh kenaikan gaji tetapi oleh faktor musim dan hari raya keagamaan
Pertanyaan berikutnya, apakah kenaikan gaji PNS akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat? Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang sesuai dengan kriteria-kriteria pelayanan publik. Zeithami (1990) mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi antara lain : a) tangible (terjamah) terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personildan komunikasi; b) realibale (handal), kemampuan unit pelayanan dalammenciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu; c) responsiveness(pertanggungjawaban), kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan; d) competence, tuntutan yangdimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan; e) courtesey, sikap atau perilaku ramah, bersahabat,tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; f) credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarikkepercayaan masyarakat; g) security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko; h) access, terdapat kemudahan untuk mengadakankontak dan pendekatan; i) communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat; j) understandingthe customer (memahami pelanggan), melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan. Pelayanan yang mengabaikan kriteria-kriteria pelayanan publik tersebut hanya akan mengurangi atau malah menghilangkan kualitas pelayanan itu sendiri.Pelayanan PNS kepada masyarakat diharapkan berdasarkan tolok ukurataukriteria-kriteria pelayanan publik tersebut. Hal ini terutama karena para PNS yang diangkat dan dipekerjakan olehpemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat berperan danbertanggungjawab dalam memberikan pelayanan terbaikkepada masyarakat sehingga mensejahterakan masyarakat melalui pelayanan yang diberikan. Mereka diangkat bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untukmelayani masyarakat. Mereka adalah instrumen pemerintah dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Kenyataan yang selama ini dijumpai adalah pelayanan publik belum memuaskan, malah jauh dari prinsip-prinsip pelayanan publik. Dalam hasil penelitiannya tentang Governance and Decentralization Survey (GDS) 2003, Agus Dwiyanto dkk (2003) mengemukakan beberapa indikasi adanya pelayanan pemerintah kabupaten dan kota yang masih jauh dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik antara lain : a) belum adanya prinsip keadilan dan persamaan dalam praktek pelayananpublik yang ditandai oleh masih adanya diskriminasi menurut hubunganpertemanan, afiliasi politik, kesamaan etnis dan agama dalam praktek pelayananpublik; b) rendahnya responsivitas pemerintah kabupaten dan kota dalammenanggapi keluhan dan kebutuhan masyarakat. Frekuensi keluhan masyarakat yangpaling banyak adalah masalah sertifikat tanah dan yang terendah adalah masalah KTP; c) rendahnya efisiensi dan efektivitas pelayanan yang ditandai oleh adanyapelayanan yang lambat, tidak cepat dan tepat waktu dan masih adanya biaya tambahan di luar biaya yang seharusnya; d) masih adanya budaya rente birokrasi di mana sering terjadi praktek suap dan potongan yang kadang-kadang melebihi keuntungan dalam mengerjakan proyek-proyek pemerintah.
Menurut pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Budi Radjab, jika memakai akal sehat, seharusnya ada korelasi kenaikan gaji PNS dengan pelayanan, tetapi kenyataannya tidak ada. Dalam kenyataannya, orang dengan mudah berceritera tentang bagaimana mengurus KTP; bagaimana bingungnyamengurus sertifikat tanah, berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untukmengurus izin mendirikan bangunan (IMB), izin perusahaan dan sebagainya. Malahmasyarakat sudah dibuat biasa dan dipaksa mengikuti kebiasaan yang dibangun selama ini. Kalau ingin mengurus sesuatu dengan lancar dan cepat, berikanlah sesuatu.
Tampaknya telah tertanam suatu pandangan, sikap dan perilaku birokrasi yang belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam memberikan pelayanan.Inu Kencana (1999) mengemukakan bahwa sebabnya adalah masihadanyakecenderungan para pelayan publik (biroktrat) yang memosisikan masyarakatsebagai pihak yang "melayani", bukan yang "dilayani". Akibatnya, pelayanan yangseharusnya ditujukan kepada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat kepada pelayan publik (birokrat). Budi Radjab juga mengemukakan bahwa dalam pandangan PNS, tidak ada kaitan antara gaji yang diterima denganpelayanan. Pelayanan sudah diartikan selama ini sebagai extra money atau jalan lain untuk mendapatkan uang tambahan di luar gaji.
Dan itulah persoalan terbesar birokrasi Indonesia. Ketika rencana kenaikan gaji diumumkan oleh pemerintah muncul pula berbagai tanggapan dan harapan dari masyarakat akan pelayanan PNS. Salah satu tanggapan adalah "dari dulu gaji dinaikkan terus-menerus tetapi pelayanan tetap saja seperti itu. Korupsi dari pegawai kecil sampai pegawai tingkat atas tetap terjadi. Tidak ada jaminan bahwa gaji naik maka korupsi hilang dan kinerja PNS semakin baik. Harusnya yang gajinya naik itu yang kerjanya rajin dan konditenya bagus. Bukan yang suka korupsi waktu, apalagi korupsi uang".Akhirnya dapat dikatakan bahwa tidak ada jaminan yang pasti bahwa kenaikangaji dapat meningkatkan kesejahteraan dan kinerja pelayanan PNS kepada masyarakat. Dalam kenyataannya, kenaikan gaji selalu diikuti oleh lonjakan harga barang-barang dan persentase kenaikan pun belum mampu mengimbangi dan memenuhi keanekaragaman kebutuhan PNS mulai dari kebutuhan bahan-bahan pokok, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Dengan demikian, kenaikan gaji harus pula disertai dengan pembinaan sikap dan perilaku PNS agar mereka semakin lebih sadar akan tugas dan tanggung awabnya untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya sebagai yang dilayani oleh masyarakat.
Para PNS di seluruh Indonesia tentu bergembira karena kenaikan gaji bukan hanya akan menambah besarnya gaji yang selama ini diterima, tetapi juga akan menambah daya beli dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Walaupun gaji PNS dinaikkan, masih ada keraguan dari kalangan PNS akan naiknya kesejahteraan mereka. Keraguan tersebut muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya bahwa rencana kenaikan gaji PNS selalu diikuti oleh lonjakan harga bahan kebutuhan pokok, barang-barang dan jasa lainnya. Fenomena yang terjadi sebelumnya, manakala pemerintah mengumumkan rencana kenaikan gaji PNS, maka harga barang-barang dan jasa-jasa di pasaran sudah naik mendahului realiasi kenaikan gaji tersebut. Dengan kata lain, sebelum kenaikan gaji diterima, harga barang-barang di pasaran sudah naik.
Selain itu, kenaikan sebesar 15% akan menambah kurang lebih Rp 225.000,00 kalau gaji pokok sebesar Rp 1.500.000,00 per bulan. Sementara itu, kebutuhanjuga meningkat baik jenis maupun jumlahnya. Dari fenomena ini, kebanyakan PNS berangapan bahwa dampak dari kenaikan gaji terhadap kesejahteraan PNS belum terlalu signifikan. Dalam kenyataannya, kenaikan gaji belum mencukupi kebutuhan keluarga yang beragam.
Anggapan semacam ini didasarkan pada upaya untuk menghubungan ada tidaknya pengaruh kenaikan gaji dengan kenaikan harga barang-barang termasuk sembilan bahan kebutuhan pokok. Coki Ahmad Syahwier (18 Agustus 2006), pengamat ekonomi dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung (Jabar) mengemukakan bahwa dalam konteks sekarang, fenomena itu tidak ada lagi karenaharga kebutuhan pokok di pasaran sudah pada naik sebelum diumumkan kenaikangaji PNS. Kenaikan itu tidak disebabkan oleh kenaikan gaji PNS tetapi olehsebab lain seperti faktor musim. Musim kemarau mempengaruhi harga sector pertanian seperti sayur-sayur dansebagainya karena permintaan di pasaran lebih tinggi dibandingkan dengan suplai. Faktor lainnya adalah hari raya keagamaan misalnya menjelang bulan puasa dan lebaran mempengaruhi kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Jadi, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok sebenarnya tidak disebabkan oleh kenaikan gaji tetapi oleh faktor musim dan hari raya keagamaan
Pertanyaan berikutnya, apakah kenaikan gaji PNS akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat? Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang sesuai dengan kriteria-kriteria pelayanan publik. Zeithami (1990) mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi antara lain : a) tangible (terjamah) terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personildan komunikasi; b) realibale (handal), kemampuan unit pelayanan dalammenciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu; c) responsiveness(pertanggungjawaban), kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan; d) competence, tuntutan yangdimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan; e) courtesey, sikap atau perilaku ramah, bersahabat,tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; f) credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarikkepercayaan masyarakat; g) security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko; h) access, terdapat kemudahan untuk mengadakankontak dan pendekatan; i) communication, kemauan pemberi layanan untuk
Kenyataan yang selama ini dijumpai adalah pelayanan publik belum memuaskan, malah jauh dari prinsip-prinsip pelayanan publik. Dalam hasil penelitiannya tentang Governance and Decentralization Survey (GDS) 2003, Agus Dwiyanto dkk (2003) mengemukakan beberapa indikasi adanya pelayanan pemerintah kabupaten dan kota yang masih jauh dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik antara lain : a) belum adanya prinsip keadilan dan persamaan dalam praktek pelayananpublik yang ditandai oleh masih adanya diskriminasi menurut hubunganpertemanan, afiliasi politik, kesamaan etnis dan agama dalam praktek pelayananpublik; b) rendahnya responsivitas pemerintah kabupaten dan kota dalammenanggapi keluhan dan kebutuhan masyarakat. Frekuensi keluhan masyarakat yangpaling banyak adalah masalah sertifikat tanah dan yang terendah adalah masalah KTP; c) rendahnya efisiensi dan efektivitas pelayanan yang ditandai oleh adanyapelayanan yang lambat, tidak cepat dan tepat waktu dan masih adanya biaya tambahan di luar biaya yang seharusnya; d) masih adanya budaya rente birokrasi di mana sering terjadi praktek suap dan potongan yang kadang-kadang melebihi keuntungan dalam mengerjakan proyek-proyek pemerintah.
Menurut pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Budi Radjab, jika memakai akal sehat, seharusnya ada korelasi kenaikan gaji PNS dengan pelayanan, tetapi kenyataannya tidak ada. Dalam kenyataannya, orang dengan mudah berceritera tentang bagaimana mengurus KTP; bagaimana bingungnyamengurus sertifikat tanah, berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untukmengurus izin mendirikan bangunan (IMB), izin perusahaan dan sebagainya. Malahmasyarakat sudah dibuat biasa dan dipaksa mengikuti kebiasaan yang dibangun selama ini. Kalau ingin mengurus sesuatu dengan lancar dan cepat, berikanlah sesuatu.
Tampaknya telah tertanam suatu pandangan, sikap dan perilaku birokrasi yang belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam memberikan pelayanan.Inu Kencana (1999) mengemukakan bahwa sebabnya adalah masihadanyakecenderungan para pelayan publik (biroktrat) yang memosisikan masyarakatsebagai pihak yang "melayani", bukan yang "dilayani". Akibatnya, pelayanan yangseharusnya ditujukan kepada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat kepada pelayan publik (birokrat). Budi Radjab juga mengemukakan bahwa dalam pandangan PNS, tidak ada kaitan antara gaji yang diterima denganpelayanan. Pelayanan sudah diartikan selama ini sebagai extra money atau jalan lain untuk mendapatkan uang tambahan di luar gaji.
Dan itulah persoalan
1.5
PENUTUP
Paradigma baru PNS yang profesional, netral dan sejahtera
mempunyai arti, yakni; setiap anggota korpri hendaknya dapat meningkatkan
profesionalisme, kompetensi dan kemampuan sesuai dengan bidang tugas yang
dibebankan, harus netral dan fokus dengan fungsi dan tugasnya sebagai
pegawai negeri sipil serta dapat memberikan implikasi terhadap
kesejahteraan anggota Korpri.Oleh karena itu, dengan paradigma baru ini sudah
jelas bahwa Korpri itu hanya berlandaskan dengan profesional, netral dan
sejahtera.
Dalam
hal kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil pemerintah seharusnya menyelaraskan dengan tugas-tugas pelayanan
aparatur, apalagi tuntutan masyarakat yang semakin hari akan semakin berat,
karena kebutuhan masyarakat semakin hari semakin banyak dan perbandingan antara
apatur dengan pertumbuhan penduduk semakin hari akan semakin jauh. Karena itu
diperlukan dan dituntut untuk meningkatkan profesionalismenya, sehingga akan
dapat mengejar dan memenuhi pelayanan yang di inginkan masyarakat.
Upaya untuk
mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah baik di pusat dan
daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya,
senantiasa memperhatikan 3 (tiga) hal pokok yang meliputi:
1. Peningkatan kesejahteraan
aparat birokrasi pemerintah
Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian telah mengamanatkan agar pemerintah memberikan kesejahteraan yang
memadai bagi PNS1. Oleh karena itu, amanat UU 43/1999 untuk
menciptakan aparatur negara yang sejahtera belum dilaksanakan secara
sungguh-sungguh oleh para pengambil kebijakan. Reformasi birokrasi akan sulit
dicapai tanpa meperhatikan kesejahteran pegawai negeri (termasuk TNI/Polri).
Pegawai negeri adalah manusia, dan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Oleh
karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi bila pegawai negeri hanya
disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja.
Selama 3 dekade kepemerintahan orde baru, sistem gaji
“perjuangan” ini telah menimbulkan social cost , selain economic
cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran”
praktek-praktek KKN di lingkungan birokrasi pemerintah. Untuk melakukan
penghapusan terhadap social cost tersebut bukan merupakan hal mudah, dan
hal yang inilah yang kita hadapi dewasa ini.
Dalam Undang-undang nomor 43 Tahun
1999 disebutkan pada pasal 7 ayat (1) setiap pegawai negeri berhak
memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung
jawabnya; (2) gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu
produktivitas dan jaminan kesejahteraan. Kemudian dalam penjelasan UU
tersebut diterangkan bahwa; (1) yang dimaksud gaji yang adil dan layak
adalah gaji PNS harus mampu menenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS
dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan
tugas yang dipercayakan kepadanya; (2) pengaturan gaji PNS yang adil
dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan baik antar PNS maupun
antara PNS dengan swasta.
Lambannya birokrasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya, tidak dapat dipungkiri sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan
(gaji) mereka yang relatif kecil, dan ini sangat berpengaruh terhadap semangat
bekerjanya. Dengan gaji yang sangat kecil yang mustahil dapat memenuhi
kebutuhannya, tanpa disadari telah mendorong PNS untuk menciptakan tambahan
kesejahteraan dengan mensiasati tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu
perlu dengan segera dilakukan upaya yang lebih realistis terhadap peningkatan
kesejahteraan PNS, TNI, dan Polri, yang disertai degan berbagai fasilitas
pendukung lainnya, untuk keberlangsungan jaminan hari tua mereka.
2. Meningkatkan Etika dan Moral Birokrasi Pemerintah
Sebagai bangsa yang religius,
seharusnya tindakan tidak terpuji KKN di lingkungan birokrasi pemerintahan
dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan membuktikan lain. Birokrasi pemerintah,
mulai tingkat elite sampai pada aparatur di tingkat bawah, memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk melakukan KKN. Yang berbeda hanyalah porsi dan
caranya saja. Perilaku KKN berawal dari keserakahan materi, kemudian berkembang
menjadi kelainan-kelainan yang sifatnya bukan saja perilaku korup di lingkungan
birokrasi pemerintah, tetapi persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya
menguntungkan kedua belah pihak dengan mengorbankan kepentingan negara.
Demikian pula
proses nepotisme yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah, yang
mengakibatkan permasalahan negara dewasa ini tidak mampu diatasi oleh birokrasi
pemerintah sendiri. Sebagai contoh praktek nepotisme dalam menduduki posisi
strategis menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Mereka tidak lagi
berpikir bagaimana memperbaiki negara ini, tetapi bagaimana mempertahankan
kekuasaan dengan cara mengangkat orang-orang yang dapat mendukung dan loyal
terhadap dirinya. Untuk mencegah hal tersebut diperlukan pembetukan watak etika
dan moral birokrasi pemerintah. Sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan
kepentingan umum dan kebutuhan masyarakat yang tersingkirkan.
3. Profesionalisme Birokrasi Pemerintah
Hingga tahun 2004
PNS masih didominasi oleh yang berpendidikan SLTA ke bawah. PNS yang berpendidikan
SD berjumlah 309.120 orang atau 7,86 persen, SLTP, 214.382 orang atau 5,45
persen dan SLTA, berjumlah 2.330.597 orang atau 59,26 persen. Sedangkan yang
berpendidikan perguruan tinggi (DI, DII, DIII, Akademi, Sarjana muda, dan S1,
S2 dan S3 berjumlah 1.078.667 orang atau 27, 43 persen. Dengan sebagian besar
PNS masih berpendidikan SLTA ke bawah, tentunya mereka belum bisa diharapkan
mampu menciptakan kreasi dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan dan
dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Untuk mewujudkan profesionalisme PNS
perlu dilakukan berbagai jenis pendidikan dan pelatihan (diklat) di dalam dan
luar negeri, yang meliputi diklat gelar, non gelar, serta diklat teknis
keterampilan. Berbagai diklat tersebut tentunya diarahkan sesuai dengan
kebutuhan bangsa dewasa ini dan di masa yang akan datang. Namun demikian,
jika PNS tersebut tidak dapat ditingkatkan lagi kemampuannya, perlu dicarikan
upaya agar mereka dapat dialihkan pekerjaannya.
Di samping itu dalam upaya
meningkatkan profesionalisme PNS perlu diperhatikan sistem rekruitmen yang
selama ini telah memberikan konstribusi terhadap rendahnya kompetensi dan
motivasi pegawai negeri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Walaupun belum
ada penelitian khusus mengenai korelasi hal tersebut di atas, namun ada
kencenderungan bahwa pegawai yang masuk melalui mekanisme KKN, tidak
menunjukkan kinerja yang diharapkan. Kecenderungan ini terjadi karena adanya
ketidaksesuaian kualifikasi yang dibutuhkan, dan rendahnya kapabilitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar