UPAYA
PERMANEN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU BAGIAN REFORMASI BIROKRASI
DI
INDONESIA
|
Oleh :
ROEDI HARTONO
|
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Indonesia menurut hasil survei “Transparansi Internasional” tahun 2011 termasuk negara
korup yang cukup memprihatinkan, yaitu ranking ke 100 dari 182 negara. Jauh
tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang masuk ranking
44 dari 182 negara, apalagi dengan Singapura yang masuk ke
dalam 5 negara terbersih dari tindakan korupsi setelah Swedia, Denmark,
Finlandia dan Selandia Baru.
Untuk menjadi manusia atau negara yang bebas dari
berbagai tindakan penyimpangan tersebut, ternyata sangat sulit karena banyak
sekali faktor penyebabnya. Hal ini dibuktikan oleh negara kita, banyak
kebijakan, program, tindakan dan slogan-slogan untuk memberantas penyakit ini
yang dikeluarkan oleh berbagai pihak,namun tidak ada satupun yang manjur. Hampir
di setiap pekerjaan yang dilaksanakan berbagai pihak selalu ada celah dan
peluang untuk terjadinya penyimpangan dan kesempatan ini tidak pernah
dilewatkan.
Ternyata, tindakan penyimpangan ini sudah menjadi
penyakit umum yang gampang menyebar dan
hinggap di setiap orang Indonesia. Di mulai dari aparat berbagai lembaga, dunia
politik, dunia usaha, dunia pendidikan sampai ke masyarakat sendiri, sangat
rentan untuk dihinggapi penyakit ini. Sebenarnya banyak obat atau cara yang telah
ditawarkan untuk menghilangkannya sampai tuntas. Namun karena kurangnya tekad
dan kesungguhan untuk meninggalkan, maka penyimpangan ini terus terjadi di
mana-mana.
Penyakit
korupsi ibarat candu atau nikotin,
karena sudah masuk ke
dalam jaringan sistem syaraf, maka akan membuat melayang dan nikmat bagi para
penggunanya. Sebenarnya nikmat yang ditimbulkan candu atau nikotin itu semu dan
menipu, namun karena sistem syaraf yang mengatur segala tindakan yang
dihinggapinya, maka akan selalu ketagihan dan merasa sayang atau enggan untuk meninggalkannya.
Banyak negara yang telah berhasil membersihkan dari
tindakan korupsi, seperti halnya Hongkong. Negara yang termasuk jajahan atau
koloni Inggris ini sedemikian parahnya tingkat korupsi yang terjadi, hampir
mencapai99% aparat penegak hukum, yaitu polisi, hakim dan jaksa serta diikuti
oleh pihak-pihak lainnya terlibat dalam tindakan kotor ini. Namun karena tekad
yang kuat serta kesungguhan untuk memberantasnya, maka Hongkong berhasil
menjadi negara yang relatif bersih dari penyakit tersebut.
Indonesia bisa bercermin dari tekad yang kuat dan kesungguhan
Hongkong dalam memberantas korupsi, namun cara yang ditempuh kurang cocok
dengan kondisi yang ada di negara kita. Hongkong dengan “menyewa” aparat/polisi
dari negara koloni Inggris lainnya yaitu Australia dan India berhasil menghabisi penyakit
korupsi tersebut. Para koruptor bisa bebas dari jeratan hukum asal pergi selamanya
dari Hongkong dan dipersilakan membawa keluarga dan seluruh hartanya.
Apa
saja yang bisa dilakukan di Indonesia dalam memberantas korupsi
ini? Banyak cara yang disampaikan oleh
para ahli dan sudah banyak juga cara-cara tersebut dilaksanakan, namun hasilnya
tidak signifikan.Tindakan penyimpanganatau penyalahgunaan wewenang dan jabatan tersebut tidak
pernah terganggu, bagaikan “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”.
Erika (2003) dalam tulisannya merekomendasikan dalam
memerangi korupsi ini, yaitu secara preventif dan represif. Upaya
preventif meliputi : 1) Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik
di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam
antara milik pribadi dengan milik perusahaan atau milik Negara; 2) Memperbaiki
penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan
ekonomi dan kemajuan swasta; 3) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan; 4) Keteladan dari perilaku
pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian
dan kebijakan; 6) Menumbuhkan
pemahaman dan kebudayaan
politik yang terbuka
untuk kontrol, koreksi dan peringatan;serta 6) Menumbuhkan “sense of belongingness” di kalangan pejabat
dan pegawai, sehingga
mereka merasa lembaga/perusahaan
tersebut adalah milik sendiri, tidak perlu korupsi dan selalu berusaha berbuat
yang terbaik. Sementara upaya represif meliputi: 1) Perlu penayangan wajah
koruptor di televisi; dan 2) Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan
pejabat.
Sebagian dari rekomendasi tersebut sudah
dilaksanakan, namun masih belum membuat jera para pelaku. Tingkat
korupsi di Indonesia sampai saat ini sudahcukupparah,
karena penyakitinisudahmengakar
kuat dalamjiwa
parakoruptordancalonkoruptor.Selanjutnyaberjalanterussecara
sistemik, yaitumulai
dari tingkat pusat sampai ke daerah, serta menjalar ke berbagai pihak.Dengandemikian, ternyatapenyakit korupsi di negeri
tercinta ini sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, bahkan bisadikatakansudah menjadi karakter
bangsakita.
Karakter sebenarnya bukan hal yang permanen,sehingga dapat berubah walaupun perubahan tersebut membutuhkan waktu
yang relative cukup lama. Oleh karena itu, dengan pendidikan karakter secara mendalam akan dapat merubah pola pikir (mindset).
Diharapkan dengan perubahan polapikir ini, segala upaya pemberantasan korupsi di atas akan menjadikan bangsa Indonesia menuju kepada insan
yang jujur dan amanah, sehingga penyakit korupsi akan menghilanguntuk selamanya.
B. Permasalahan
Terdapat beberapa permasalahan yang
sering terjadi dalam usaha menghindari berbagai penyimpangan, sehingga hasil
yang diperoleh tidak sgnifikan. Beberapa permasalahan yang diangkat dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Masih belum mantapnya tekad dan kesungguhan berbagai
pihak dalam meninggalkan tindakan penyimpangan (korupsi).
2.
Belum adanya upaya yang lebih keras dalam memberikan
hukuman kepada para pelaku, agar menimbulkan efek jera dan menjadi contoh bagi
yang lain.
3.
Perlunya memberikan pendidikan karakter untuk merubah
pola pikir (mindset) ke arah yang
positif kepada semua pihak, baik pemerintah maupun swasta serta berbagai pihak
lainnya.
C. TujuanPenulisan
Seandainya tindakan korupsi telah berkurang bahkan lenyap
di negeri tercinta ini, maka banyak hal yang akan menguntungkan bagi bangsa
ini. Beberapa tujuan yang diharapkan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Terdorongnya tekad dan kesungguhan hati yang kuat dalam
upaya mengikis habis penyakit korupsi.
2.
Dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, maka perlu
alternatif hukuman yang lebih setimpal bagi para pelaku, sehingga membuat jera
dan tidak akan diikuti oleh yang lain.
3.
Agar segala upaya yang dilaksanakan untuk menghapus
berbagai penyimpangan berhasil dengan signifikan, maka semua pihak khususnya
pemerintah perlu diberikan pendidikan karakter, sehingga bisa merubah pola
pikir (mindset) ke arah yang lebih
baik.
D.
Metode Penulisan
Metode penulisan
yang digunakan adalah metode deskriptif, di mana permasalahan bersifat apa adanya atau aktual dan diiringi dengan
interpretasi rasional yang seimbang. Adapun sumber
informasi diperoleh melalui studi kepustakaan.
KAJIAN PUSTAKA
A.
Pengertian Korupsi dan Penyebabnya
Korupsi sebagai salah satu bentuk penyimpangan atau penghianatan
dari kepercayaan yang diberikan, telah menjalar ke semua negara di dunia ini.
Namun ada beberapa negara yang sudah bisa mengatasinya, sehingga hampir bebas
dari penyakit korupsi tersebut. Beberapa negara khususnya negara berkembang
seperti Indonesia masih sarat dengan penyimpangan. Adapun pengertian dan penyebab
korupsi secara teoritis, akan dipaparkan dibawah ini.
Pengertian Korupsi
Istilah korupsisecara
etimologi berasal
dari bahasa latin “corrumpere”,
“corruptio”, atau “corruptus”, kemudian diadopsi oleh beberapa bangsa di dunia dan
mereka memiliki istilah tersendiri
mengenai korupsi. Inggris menggunakan istilah “corruption/corupt” yang artinya jahat, rusak atau curang,
sedangkan Belanda dengan istilah “corruptie/Korrutie”
dan diserap oleh Indonesia dengan istilah “korupsi”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), korup artinya busuk, palsu, atau suap.
Sedangkan menurut Kamus Hukum (2002), korup
adalah: suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan
atau negara; dan atau menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi. Sementara dalam The
lexicon webster dictionary, 1978, korup
artinya kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, atau penyimpangan dari
kesucian.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, jika
dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya berbeda, namun pada
prinsipnya mempunyai makna yang sama.Kartini (1983,)
memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan
jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, namun merugikan kepentingan
umum dan negara.Menurut surveiTransparansi International pada
tahun 2011, korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang
dipercayakan digunakan untuk keuntungan pribadi, baik sebagai pribadi, anggota
keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Muchtar Lubis (1977),mengutip pendapat Wertheim bahwa
seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah
dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang
menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Demikian juga orang yang
menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga bisa dikatagorikan sebagai tindakan korupsi.Selanjutnya, dia
menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh
seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/kelompoknya
atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap
sebagai korupsi.
Penyebab Korupsi
Korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Kemendagri (dalam Komunika 2012), terdapat 3 (tiga) faktor utama yang
mendorong terjadinya korupsi di Indonesia, yakni:
1)
Faktor Individu Pelaku
a)
Manusia yang sedang berkuasa cenderung menyalahgunakan
kekuasaan dan wewenang, termasuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
b)
Bila seseorang memiliki integritas moral rendah (seperti
imannya tidak kuat), maka orang tersebut cenderung melakukan KKN.
2) Faktor Sosial Budaya
a)
Pada sebagian masyarakat Indonesia, kekayaanmerupakan
wujud dari kesuksesan hidup, sehingga merekaberupaya menambah harta
kekayaannya. Bahkanada kecenderungan masyarakat memberiapresiasi dan
penghormatan terhadap orang-orangkaya tanpa mempersoalkan dari mana dia
memperoleh harta kekayaan itu, termasukkemungkinan dari hasil korupsi.
b)
Budaya “menyampaikan
ucapan terima kasih”berupa memberikan sesuatu kepada pihakyang membantu
masih terbawa dalam perilakubirokrasi kita. Inilah yang
disebut “Gratifikasi”sebagai
implikasi dari adanya kolusi. Orang yangmemberi tentu punya harapan akan
kembalimendapar orderpekerjaan.
Sementara bagi yangmenerima, mencoba mencari pembenarannya.
c)
Masyarakat kita masih permisif terhadap
perilakupelanggaran norma hukum, sehingga lemahnyakontrol sosial terhadap
praktek penyalahgunaanweweng dalam penyelenggaraan pemerintahan.
DiperkuatHerbert Simon(1982),
denganmenjelaskan bahwa beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu: 1) Perumusan
perundang-undangan yang kurang sempurna; 2) Administrasi yang lamban, mahal,
dan tidak luwes; 3) Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat
pemerintah dengan upeti atau suap; 4) Berbagai macam korupsi dianggap biasa,
tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi;
5) Seperti halnya di India, menyuap
jarang dikutuk selama menyuap tidak
dapat dihindarkan; 6) Menurut kebudayaannya,seperti di Nigeria,
tidak dapat menolak
suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan
kekayaannya; 7)Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuanpemerintah,
mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Sementara
menurut Prof. Adi Sulistiyono selaku Guru Besar UNS (2009), mengutarakan bahwa
beberapa penyebab korupsi menjadi langgeng di Indonesia negeri tercinta ini
adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat
mempunyai mental suka “menerabas” (mendobrak aturan yang berlaku); 2) Masyarakat tidak menganggap korupsi sebagai “aib”; 3) Rendahnya budaya malu; 4)Nilai ewuh
pakewuh melekat pada masyarakat Indonesia; 5)Kontrol sosial masyarakat
terhadap perilaku korupsi masih longgar; 6)Nilai kejujuran kurang mendapat
penghargaan tinggi dimasyarakat; 7) Kurangnya keteladanan dari pimpinan; 8) Masyarakat mengukur status sosial dari “kekayaan” (uang dan kekuasaan); 9) Belum ada kesadaran bersama bahwa korupsi membuat hancurnya sebuah negara,
penyebab kemiskinan, menimbulkan banyak pengangguran, dan meningkatnya utang;
10) Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) tidak
memberi skala prioritas utama pada pemberantasan
korupsi; 11) Diskriminasi hukum yang dilakukan kejaksaan; 12) Lemahnya komitmen
Mahkamah Agung; 13)Komitmen Presiden dan Wakil Presiden dalam memberantas
korupsi tidak kuat dan kurang konsisten.
B.
Bahaya Korupsi dan Upaya Pemberantasannya
Bahaya Korupsi
Secara
umum akibat yang ditimbulkan oleh korupsi tersebut adalah membuat kerugian
negara, merusak sendi-sendi kebersamaan dan memperlambat tercapainya tujuan
nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Akibat tindakan korupsi secara rinci, menurut Said Zaenal Abidin, salah
seorang Penasihat KPK (2012) adalah sebagai berikut:
1) Akibat
terhadap Perekonomian Nasional, yaitu;
a) Laju pertumbuhan ekonomi yang lamban; b) Pengangguran yang tinggi; c) Jumlah orang miskin absolut yang tinggi; d)
Tergantung pada utang/investasi luar negeri; dan e) Kebocoran dana pembangunan.
2) Akibat
terhadap Sumberdaya Alam, yaitu:
a) Minyak akan habis sebelum tahun 2030; b) Tingkat kerusakan hutan sudah dalam
keadaan bahaya (stadium 4); c) Pencemaran laut dan hilangnya potensi kelautan;
serta d) Bencana alam marak secara nasional.
3) Akibat
terhadap Keamanan dan Ketahanan Negara, yaitu: a) Konflik vertikal dan horizontal;
b) Disintegrasi (perpecahan); dan c) Kelemahan pertahanan.
4) Akibat
terhadap Sosial dan Budaya, yaitu:
a)Keretakan kehidupan rumah tangga; b) Lahir generasi yang split personality(kepribadian ganda); c) Lahir budaya keganasan; dan
d) Lahir budaya “Hedonisme” (kesenangan dan kekayaan materi menjadi tujuan
utama hidup).
Upaya Pemberantasan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja, jika
suatu negara ingin mencapai tujuannya dengan mulus. Hal inidikarenakanjika
korupsi berlangsung secara terus menerus, maka perbuatan bejat dan kotor
tersebut akan terbiasa dan menjadi subur serta akan menimbulkan sikap mental
pejabat dan pegawai yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dengan
menghalalkan segala cara (the end
justifies the means). Oleh karena itu, mau tidak mau korupsi harus
ditanggulangi secara tuntas dengan penuh tanggung jawab.
Ada beberapa upaya penanggulangan korupsi yang ditawarkan
para ahli di mana masing-masing melihat dari berbagai segi dan pandangan. Seperti
halnya Adi Sulistiyono (2009), menyampaikan beberapa alternatif solusi
memberantas korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut: 1) Membentuk perilaku anti-korupsi melalui pendidikan; 2) Penanaman
nilai-nilai budaya luhur pada masyarakat (kejujuran, budaya malu,
disiplin, kesederhanaan, dan daya
juang); 3) Teladan dari keluarga dan pemuka masyarakat; 4) Membangun kesadaran masyarakat bahwa korupsi
sama bahayanya dengan teroris; 5) Menjadikan korupsi menjadi musuh bersama
masyarakat; 6) Carrot and stick(kecukupan
dan hukuman) untuk birokrasi dan aparat penegak hukum; 7) Transparansi perencanaan program
penganggaran; 8) Penerapan pembuktian terbalik secara murni dan memberi perlindungan
hukum pada saksi pelapor; 9) Hukuman yang
sangat berat pada aparat penegak hukum yang korupsi pada waktu menangani
kasus korupsi; 10) Presiden dan Wakil Presiden mempunyai komitmen yang
kuat dan konsisten dalam pemberantasan korupsi; serta 11) Mendukung
penegakan hukum yang telah
berhasil dilakukan oleh KPK. (merealisir RUU Anti-Korupsi; RUU KPK; dan UU
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi) .
Sementara
Kartini
(1983),
menyarankan bahwa penanggulangan korupsi perlu dilakukan sebagai berikut: 1) Adanya
kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh; 2) Menanamkan
aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional; 3) Para
pemimpin dan pejabat memberikan teladan dalam memberantas dan menindak korupsi;
4) Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi; 5) Reorganisasidan rasionalisasidariorganisasi pemerintah,melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan di bawahnya; 6) Adanya sistem
penerimaan pegawai yang berdasarkan
sistem “achievement”(prestasi) dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”
(bertindak tanpa pembenaran); 7) Adanya
kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demikelancaran administrasi
pemerintah; 8) Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur; 9) Sistem budget
dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien; dan 10) Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang
mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
C. Metode Pendidikan Karakter
Tindakan korupsi di Indonesia ini
ternyata cenderung dianggapsesuatu yang wajar, hal ini dikarenakan kebiasaan
untuk melakukan korupsi telah “mendarah daging”. Perilaku korupsi sudah menjadi
hal yang biasa dan bukan lagi dianggap sebagai “penyakit”yang harus segera
disembuhkan. Akibatnya, semakin sulit membedakan mana perilaku korupsi dan mana
yang bukan korupsi. Jika seseorang sudah terbiasa melakukan tindakan korupsi,
maka dia merasa bukan seorang koruptor (pencuri uang rakyat/negara) serta dia
tidak akan merasa salah dan berdosa. Ibarat pencuri, jika dia disalahkan maka akan
melakukan tindakan“maling teriak maling”.
Apabila sesuatu yang sudah biasa dikerjakan
berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya membentuk suatu
karakter, maka agak susah untuk merubahnya. Kebiasaan tersebut sudah menempel
kuat dalam pikirannya dan menjadikan pola pikir sebagai pendorong untuk
melakukan tindakan menyimpang yang terus-menerus. Namun, karakter sebenarnya bukan
merupakan hal yang permanen dan dapat diubah. Seperti halnya Firman Allah SWT
dalam Al-Quran Surah Ar-Ra’ad 13:11 yang artinya “Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah keadaan (karakter/nasib)
suatu bangsa (kaum), sehingga mereka mengubah keadaan (karakter/nasib) yang ada pada mereka
sendiri”.
Usaha untuk merubah karakter seseorang adalah dengan memberikan
pendidikan karakter, sehinggadiharapkan pola pikir (mindset) seseorang
akan berubah ke arah yang poritif. Perubahan mindset ini bisa terjadi secara perlahan atau bahkan secara drastis,
tergantung pada tekad dan niat yang kuat dari orang tersebut.
Menurut
M.Rosyid (2009), terdapat beberapa metode pendidikan karakter dalam
rangka merubah pola pikir seseorang, antara lain sebagai berikut: 1)Metode NLP (Neuro
Linguistic Programming); 2) Kontemplasi (Perenungan/Muhasabah/ESQ Technique); dan 3) Membangun
Konsep Diri (Self Concept). Adapun rincian dari masing-masing metode,dia menjelaskan seperti terurai di bawah ini.
Metode NLP (Neuro Linguistic Programming)
Inti dari NLP (Neuro Linguistic
Programming)adalah untuk mengetahui bagaimana cara kerja otak agar
seseorang bisa menjadi tuan atasnya dan bukan menjadi budaknya. Para penggagas
NLP sendiri merumuskan NLP sebagai The study of subjective experience.
NLP berasal dari 3 (tiga) kata, yaitu Neuro,
Lingustic dan Programming. “Neuro” berhubungan dengan
otak/pikiran, yaitu bagaimana kita mengorganisasikan kehidupan mental kita. “Linguistic”adalah mengenai
bahasa, bagaimana kita menggunakan bahasa untuk menciptakan makna dan
pengaruhnya pada kehidupan kita. Sementara “Programming” adalah mengenai urutan proses mental yang
berpengaruh atas perilaku dalam mencapai tujuan tertentu, dan bagaimana
melakukan modifikasi atas proses mental itu.
Teknik NLP dalam praktek/tindakan
sehari-hari adalah bagaimana kita mengalami/menghadapi suatu kejadian, makaakan
tergantung bagaimana kita “membingkainya“ dalam pikiran kita. Cara kita
membingkai sesuatu sangat menentukan makna yang melekat di dalamnya. Walaupun
ada peluang untuk menyimpang, namun karena dalam pola pikirnya selalu dibingkai
secara positif (jujur dan amanah), maka penyimpangan tidak akan terjadi.
Kontemplasi (Perenungan/Muhasabah/ESQ Technique)
Dalam perenungan terdapat upaya-upaya untuk mengevaluasi
diri, membuang sifat-sifat negatif
dengan merbersihkan hati (qolbu) dan terus-menerus melakukan perbaikan. Di dalam melakukan proses penjernihan hati
dan pikiran menurut A.Ginanjar Agustian (2006),
terdapat 7 (tujuh) langkah, sebagai berikut: 1) Hindari prasangka buruk, upayakan
berprasangka baik kepada orang lain; 2) Berprinsiplah selalu kepada Allah Yang Maha Suci; 3) Bebaskan diri dari
pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berpikirlah merdeka; 4) Dengar suara hati, peganglah
prinsip “karena Allah”, bepikirlah melingkar sebelum menentukan kepentingan dan
prioritas; 5) Lihatlah semua sudut pandang secara bijaksana berdasarkan suara-suara hati
yang bersumber dari Asmaul Husna; 6) Periksa pikiran anda terlebih dahulu sebelum menilai
segala sesuatu; 7) Ingatlah bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT.
Membangun Konsep
Diri (Self Concept)
Konsep diri adalah semua persepsi kita terhadap diri yang meliputi
beberapa aspek, yaituaspek fisik, sosial, dan psikologis.Persepsi ini terbentuk
karena pengalaman masa lalu dan interaksi kita dengan orang lain.Konsep diri
merupakan perpaduan dari 3 (tiga) unsur, yaitu: cita-cita diri/diri ideal (self
ideal), citra diri (self image), dan harga diri (self esteem).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa pertama, cita-cita diri/diri ideal (self ideal)adalah gambaran dari sosok yang
sangat diinginkan yang merupakan gabungan dari semua kualitas serta kepribadian
orang yang sangat dikagumi. Kedua, citra diri (self image)adalah cara seseorang melihat diri
sendiri dan berpikir mengenai dirinya pada saat sekarang ini. Ketiga, harga diri
(self esteem) adalah seberapa besar seseorang suka terhadap dirinya sendiri.
Semakin menyukai/hormat pada dirinya, maka semakin berharga dan bermakna,
sehingga akan memiliki kepribadian yang kuat sebagai dasar dari konsep diri
yang positif untuk mencapai keberhasilan.
Dengan
membangun konsep diri yang baik, maka akan terjadi pergeseran pola pikir (mind set)ke arah yang positif seperti:
1) Asalnya bekerja untuk uang berubah menjadi bekerja untuk ibadah; 2) Asalnya
berpikir linier berubah menjadi berpikir sistem; 3) Asalnya berpikir bagian
berubah menjadi berpikir menyeluruh; 4) Asalnya berpikir objek berubah menjadi
berpikir hubungan; 5) Asalnya berpikir hierarki berubah menjadi berpikir
jaringan; 6) Asalnya berpikir struktur berubah menjadi berpikir proses; 7) Asalnya
pola pikir negatif berubah menjadi pola pikir positif.
PEMBAHASAN
A. PenguatanTekad dan Kesungguhan Hati
Upaya pemberantasan penyimpangan (tindakan korupsi) sudah sejak lama dilakukan, mulai dari zaman
Orde Lama, Orde Baru dan hingga sekarang zaman Orde Reformasi. Namun hasilnya
tidak signifikan, bahkan sebagian orang menilai bahwa tindakan korupsi di
Indonesia semakin menjadi-jadi. Mereka mengatakan bahwa dulu zaman Orde Baru
tindakan korupsi terjadi “di bawah meja”, karena masih menjaga rasa malu-malu
kucingmaka “ampaw” ada di bawah meja. Lain lagi di zaman Orde Baru, tindakan
korupsi terjadi “di atas meja”, maksudnya tindakan korupsi sudah
terang-terangan dan tidak ada rasa malu. Selanjutnya tindakan korupsi di zaman
Orde Reformasi makintambah parah lagi,yaitu “ampaw dibawa dengan meja-mejanya”.
Disebutkan bahwa dengan keteladanan yang baik dari
pemimpin/atasan merupakan upaya yang efektif dalam memerangi penyimpangan yang
dilakukan di dalam suatu organisasi/lembaga. Seperti halnya pendapat Erika
(2003) dan Kartini (1983), keteladanpara pemimpin dan pejabat merupakan salah satu upaya yang efektif
dalam memberantas dan menindak korupsi.Namun, dikarenakan susahnya mencari
pemimpin/atasan yang bisa menjadi suri teladan bagi bawahan dan organisasinya,
maka harapan ini jarang terjadi. Justru sebaliknya yang terjadi adalah atasan
organisasi/lembaga itulah yang membuat “kaderisasi” tindakan korupsi bagi
bawahan (staf/karyawan baru) dan organisasinya.
Dari uraian di atas, memperlihatkan bahwa keinginan atau
tekad kuat dengan diikuti hati yang sungguh-sungguh untuk memerangi tindakan
korupsi secara tuntas, sangat lemah. Ibarat ketagihan candu atau nikotin,
mereka akan merasa enggan dan sayang untuk meninggalkannya, karena takut
kehilangan kesenangan sertagaya dan pola hidup yang glamour dan penuh dengan angan-angan
nikmat. Mereka tidak sadar atau tidak mau sadar bahwa tindakan korupsitelah menyimpang
dari aturan dan norma yang berlaku. Tindakan yang curang ini sebenarnya
merugikan diri sendiri dan keluarga, merugikan orang lain, bahkan merugikan bangsa
dan negara.
B. Pemberian Hukuman Lebih Keras
Sebenarnya pemberian hukuman merupakan upaya untuk
membuat orang jera melakukan penyimpangan. Namun apabila hukuman yang diberikan
sangat ringan dan tidak setimpal dengan perbuatan berat yang telah dilakukannya,
maka selamanya tidak akan membuat jera bahkan perbuatan menyimpang tersebut
akan selalu diulangi. Demikian halnya jika tindakan korupsi tidak mendapatkan
sanksi yang setimpal maka pemberantasannya tidak akan tuntas.
Proses hukum oleh aparat penegak hukum terhadap
pelanggaran tindakan korupsi ini, seyogyanya dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Namun pada kenyataannya, kerap terjadi proses hukum yang sedang berjalan,
terputus begitu saja dikarenakan adanya “kesepakatan”. Ada kalanya diproses
sampai selesai, namun dengan putusan “bebas” dengan catatan “tahu sama tahu”.
Sebenarnya jika pemberian hukumankepada para pelaku
korupsi sangat berat (misalnya dipecat dengan tidak hormat dari jabatannya, disita
seluruh harta hasil korupsinya dan atau pemberian hukuman seumur hidup), maka
akan dapat menimbulkan efek jera. Hukuman berat
lainnya, seperti yang disarankan oleh Erika (2003) yaitu penayangan
wajah para koruptor di setiap media elektronik (televisi) untuk membangkitkan
rasa “malu”, dapat membuat orang berpikir dua kali untuk melakukannnya. Selain
itu, akan menjadi contoh bagi para pejabat pemerintah/swasta,pegawai dan semua
pihak, untuk tidak meniru perbuatan yang menyimpang tersebut.
Pemberian hukuman berat berupa “hukuman mati”, sempat
menjadi wacana di kalangan para ahli hukum dan tokoh agama. Namun tidak
berlanjut, hanya sebatas wacana serta timbulnya pro dan kontra tanpa ada
penyelesaian akhir. Lebih-lebih bagi aparat hukum yang membebaskan para pelaku
karena “tahu sama tahu”, harus diberi
hukuman yang lebih berat lagi karena telah merusak citra hukum. Hal ini sesuai
dengan pendapatProf.
Adi Sulistiyono, adanya pemberian hukuman
yang sangat berat bagi aparat penegak hukum yang korupsi pada waktu menangani
kasus korupsi.
C. Perubahan Pola Pikir(Mindset)
Salah satu upaya pemberantasan korupsi dengan menaikan
gaji seperti yang disarankan oleh banyak pihak termasuk Erika (2003), ternyata
tidak mempan. Hal inidikarenakan manusia mempunyai sifat yang kurang baik yaitu
tidak akan merasa puas dan tidak bersyukur dengan apa yang telah dimilikinya.
Bahkan lebih parah lagi, mereka cenderung serakah dan egois, tidak memiliki
rasa kepedulian dan kesetiakawanan. Manusia seperti itu kalau sudah mendapatkan
”emas” satu karung, maka dia akan mencari karung “emas” lainnya. Selanjutnya
jika dia sudah mendapatkan karung “emas” lainnya, maka dia belumjuga puas dan akan
mencari lagi karung-karung “emas” lainnya.
Oleh karena itu, para pejabat pemerintah/swasta, pegawai dan
semua pihak lainnya perlu melakukan perubahan pola pikir. Kebiasaan yang tidak
baik, sifat yang negatif, kemaruk dan tidak peduli dengan kondisi di
sekitarnya, karakter yang status quodan
selalu orientasi ke atas dengan selalu memberikan “upeti” karena takut hilang
jabatan. Itu semuaharus dikikis habis melalui perubahan pola pikir.
Segala sesuatu yang kita lakukan berakar dari cara kita berpikir
tentang masalah tersebut. Demikian pula halnya dengan tindakan korupsi, selama
ini jabatan dalam pola pikirnya dianggap sebagai kesempatan menumpuk kekayaan,
bukannya sebagai “amanah” yang harus dipertanggungjawabkan, sehingga korupsi
tidak pernah hilang. Untuk itu, bila kita ingin mengubah kehidupan kita
sendiri, maka kita perlu melakukan perubahan (revolusi) cara berpikir. Hal ini
selaras dengan pernyataan penulis terkenal Stephen Covey: "Jika anda menginginkan perubahan kecil dalam hidup,maka ubahlah
perilaku Anda, Tapi jika anda menginginkan perubahan yang besar dan mendasar, maka
ubahlahcara berpikir(pola pikir atau mindset) Anda"
Banyak para ahli,
seperti halnya Adi Sulistiyono (2009) menyampaikan perlunya penanaman nilai-nilai budaya luhur pada masyarakat, seperti
kejujuran, budaya malu, disiplin, kesederhanaan, dan daya juang. Nila-nilai
budaya luhur ini merupakan nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran agama
sebagai ciri “akhlakul karimah” bagi orang yang beriman kepada Allah SWT.
Selain itu, nilai-nilai budaya luhur ini merupakan pola pikir (mindset) yang sangat mendukung untuk
perubahan karakter seseorang yang
dianggap kurang baik dan akan membentuk pribadi yang pantas untuk menjadi teladan
atau panutan orang lain.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1)
Penyakit korupsi telah terjadi di Indonesia sejak zaman
dulu dan makinmerajalela hingga saat ini, terbukti Indosesia termasuk negara
terkorup di Asean setelah Miyanmar dan Kamboja. Sementara di tingkat dunia (182
negara), Indonesia termasuk negara korup dengan peringkat ke-100. Tindakan korupsi
saat ini yang terjadi di berbagai instansi/lembaga/ organisasi khususnya
pemerintah cenderung dianggap hal yang wajar dan biasa. Tindakan korupsi ini
pun diikuti oleh pihak-pihak lain, sampai di kalangan masyarakat. Salah satu
contoh beberapa pedagang jajanan banyak
yang bertindak tidak jujur, mereka berani menggunakan bahan-bahanharam dan
dilarang dengan alasan murah meriah. Kenapa penyakit ini merajalelasampai ke
semua elemen dan dianggap wajar? Hal ini dikarenakan penyakit korupsi sudah mendarah
daging dan menjadi karakter bangsa Indonesia.
2)
Berbagai upaya untuk memberantas korupsi selalu kandas di
tengah jalan, dikarenakan tekad dan kesungguhannya tidak mantap. Tekad untuk
memberantas korupsi masih setengah hati, karena mereka merasa jika upaya
tersebut sepenuhnya dilaksanakan maka mereka akanbanyak kehilangan, antar lain:
jabatan, rasa hormat dan dihargai oleh bawahan, serta kekayaan. Selain itu,
merekajuga merasa takut jika kasus korupsi terbuka seluruhnya, maka dirinya,
keluarganya dan teman-temannya akan terancam.
3)
Hukuman yang diberikan kepada para pelaku cenderung
ringan dan sarat dengan suap-menyuap, sehingga tidak menjadikan kapok. Lain
halnya jika hukuman dijatuhkan sangat berat, seperti “hukumanmati” maka akan membuat
para pelaku menjadi jera dan juga akan menjadi contoh bagi yang lain untuk
tidak melakukan hal yang sama.
4)
Mengubah karakter adalah sesuatu yang sulit, namun
karakter bukanlah hal yang permanen, artinya bisa diubah asal adanya tekad dan
kemauan yang kuat. Cara mengubah karakter seseorang tersebut dapat dilakukan
dengan melalui pendidikan karakter. Inti dari pendidikan karakter adalah untuk
merubah pola pikir (mindset) menuju
ke arah yang positif, sehingga tidak lagi menilai jabatan sebagai tempat
mencari kekayaan dengan cara yang menyimpang.
B. Saran
Berdasarkan uraian dalam kesimpulan di atas, maka penulis
mencoba menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1)
Agar upaya memberantas korupsi yang terjadi di berbagai
insatansi/lembaga/organisasi dapat berjalan mulus, maka semua pihak yang
terkait dengan upaya ini perlu memantapkan tekad dan kesungguhan hati.
2)
Perlunya menjatuhkan hukuman yang berat kepada pada para
pelaku korupsi, sehingga mereka dapat diperlakukan dengan adil sesuai perbuatan
kotor yang dilakukannya. Selanjutnya mereka akan merasa jera dan mau bertobat
secara lahir dan bathin.
3)
Sudah saatnya untuk melakukan perubahan pola pikir (mindset), yaitu berpikir dan
bertindakdalam hal-hal yang positif serta meningggalkan hal-hal yang negatif.Selanjutnya
mereka akan menganggap bahwa perbuatan penyimpang (korupsi) itua dalah perbuatan
yang kotor,aib, berkhianat, dan berdosa. Perubahan tersebut dapat dilakukan melalui
pendidikan karakter sehingga dapat merubah pola pikir menjadi positif dan
selanjutnya dapat melakukan pengembangan diri.
Daftar
PustakA
1. Adi
Sulistiyono, 2009, Budaya Korupsi dan
Alternatif Solusi Mengatasinya, on line: http://berbagihalyangmenakjubkan.blogspot.com/2009_10_01_
archive.html
2.
Ary Ginanjar Agustian, 2006, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. ESQ (Emotional
Spiritual Quotient), Cetakan ke-30, Penerbit Arga, Jakarta.
3.
Erika Revida, 2003,Korupsi
di Indonesia,Masalah dan
Solusinya, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Sumatera
Utara.
4.
Herbert Simon, 1982, Administrative Behavior,Terjemahan
St.Dianjung, PT.BinaAksara, Jakarta.
5.
KartiniKartono,1983,Pathologi
Sosial,
EdisiBaru, Penerbit
CV.Rajawali Press, Jakarta.
6.
Komunika, 2012, Faktor
Pendorong Korupsi, Edisi ke-10 Tahun VIII, on line:
http://www.infopublik.org
7. Muchtar Lubis,
1977,Bunga Rampai Etika
Pegawai Negeri,
Penerbit Bharata
Karya Aksara, Jakarta.
8. Muh.
Rosyid, 2009, Teknik
Mengubah Pola Pikir (Mindset), on line: http://www.rosyid.info/2009/02/teknik-mengubah-pola-pikir-mindset.html
9. Said
Zaenal Abidin, 2012, Korupsidi Indonesia dan Dampaknya terhadap KesejahteraanUmat, on line: http://www.scribd.com/doc/104406270/Makalah-Seminar-Korupsi-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar