PERMASALAHAN
BUDAYA KERJA DALAM PRAKTEK
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
A. Latar Belakang
Reformasi
birokrasi yang sedang dilakuntut dikembangkannya model dan kreasi
penerapan budaya kerja bagi jajaran aparatur negara, sehingga bisa mengubah
pola piker (mindset) mereka, dan pada gilirannya mampu memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat..
Budaya kerja sudah
lama dikenal oleh umat manusia,
tetapi belum disadari
bahwa suatu keberhasilan kerja itu
berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaannya. Nilai-nilai yang telah menjadi kebiasaan tersebut
dinamakan Budaya. Oleh karena
budaya tersebut dikaitkan dengan mutu/kualitas
kerja, hal tersebut
dinamakan Budaya Kerja. Budaya kerja merupakan suatu
komitmen organisasi
yang luas dalam upaya membangun
sumber
daya manusia,
proses kerja,
dan hasil kerja yang lebih baik. Untuk mencapai tingkat
kualitas yang semakin
baik tersebut diharapkan bersumber dari setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu
sendiri. Setiap fungsi atau proses
kerja
mempunyai
perbedaan cara
kerja,
yang
akan mengakibatkan berbedanya nilai-nilai yang cocok untuk diambil dalam kerangka
kerja
organisasi.
Konsep
budaya kerja
menjadi terkenal setelah
Jepang
mencapai
tingkat kemajuan yang tinggi dalam melakukan manajemen kualitas
yang berakar dan bersumber dari budaya yang dimiliki
bangsa Jepang dikombinasikan dengan teknik- teknik manajemen
modern pada tahun 1970-an.
Semangat membangun kembali perekonomian
Jepang setelah kalah
perang mendorong bangsa Jepang mencari cara-cara baru untuk bekerja
lebih baik agar dapat menghasilkan produk
yang lebih baik pula.
Keberhasilan Jepang membangun
perekonomiannya mendorong keinginan bangsa-bangsa lain untuk meniru dan mengembangkan sendiri cara-cara yang dilakukan bangsa
Jepang sesuai dengan budaya yang mereka miliki dengan nama
yang beraneka ragam, seperti Total Quality Management (TQM), Total Quality Control, Quality Assurance, Value Added Management, Work Improvement Team, dan lain-lain.
Dengan menerapkan manajemen kualitas budaya kerja tersebut, bermunculan
negara-negara industri baru seperti Korea Selatan,
Taiwan,
Hongkong,
Singapore, Thailand, Malaysia, dan Indonesia
di Benua Asia.
Budaya kerja memiliki peranan yang
luas, seperti halnya manajemen, baik manajemen
SDM
ataupun
manajemen keuangan dan
sebagainya dalam
hal membangun
sebuah organisasi yang kokoh dan kuat yang mampu bertahan hidup dalam menghadapi masa-masa perubahan
dan penuh persaingan seperti sekarang ini.
Peningkatan
perekonomian yang pernah terjadi di Indonesia karena pemerintah menjalankan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi
serta sebagian kecil di sektor swasta telah menjalankan program Pengendalian Mutu Terpadu (PMT) sejak
pertengahan 1985, terutama yang mempunyai induk perusahaan di Jepang. Program
Pengendalian Mutu Terpadu (PMT) telah berkembang disektor swasta,namun kurang mengakar, sehingga kurang
mantap keberadaannya.
B. Pengertian Budaya
Kata Budaya dalam pengertian harfiah, sering
diterjemahkan istilah bahasa Inggris yaitu Culture yang berasal dari
bahasa Latin Colore yang berarti mengerjakan tanah, mengelola dan
memelihara ladang (Soerjanto Puspowardoyo, 1993). Pengertian ini jelas berbau
agraris pada masa tersebut dan kemudian diterapkan kedalam hal-hal yang
bersifat rohani (Langeveld, 1993).Oleh Ashley Montague
dan Christopher Dawson (1993) mengartikan culture sebagai way of life
atau cara hidup tertentu dengan
memancarkan identitas suatu bangsa tertentu. Istilah culture ini sering
diterjemahkan menjadi kebudayaan atau
peradaban.
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Manusia memiliki
unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa).
Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Dengan cipta
manusia mengembangkan kemampuan alam pikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan.
Dengan rasa manusia menggunakan panca inderanya yang menimbulkan
karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa manusia menghendaki
kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga berkembanglah kehidupan
beragama dan kesusilaan.
Menurut Ki
Hajar Dewantara: “Kebudayaan adalah
buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat”. Sedangkan menurut Koentjaraningrat,
:“Kebudayaan adalah keseluruhan sistem,
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
kebudayaan
itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia;
2.
kebudayaan itu tidak diturunkan secara biologis
melainkan diperoleh melalui proses belajar; dan
3.
kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya
menurut J.J. Hoenigman,wujud
kebudayaanadalah:
1.
Gagasan (Wujud ideal)
Wujud
ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh.
2.
Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula
disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusialainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat
diamati dan didokumentasikan.
3.
Artefak
(karya)
Artefak adalah wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari
aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa
benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan.Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
C. Pengertian Kerja
Menurut Faisal Tamin (2004), pada hakikatnya bekerja merupakan bentuk atau cara manusia
mengaktualisasikan dirinya, di samping itu bekerja juga merupakan bentuk nyata
dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk
melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan.
Pengertian kata kerja dapat diidentifikasikan dengan berbagai pernyataan
sebagai berikut :
1. Kerja adalah hukuman. Untuk bisa hidup manusiaharus bekerja kerascari makan. Salah satu bentukhukuman adalah kerja paksa;
2. Kerja adalah beban. Bagi orang malas,
kerja adalah beban.
3. Kerja adalah kewajiban. Dalam sistem birokrasi atau sistemkontraktual,
kerja adalah kewajiban.
4. Kerja adalah sumber penghasilan. Kerjasebagai sumber nafkah merupakan anggapan dasarmasyarakat umumnya;
5. Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan.
6. Kerja adalah gengsi, prestise. Kerja sebagai gengsiberkaitan dengan status sosial dan jabatan;
7. Kerja adalah aktualisasi diri. Kerja di sini dikaitkan denganperan, cita-cita atau ambisi;
8. Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja di sini berkaitan denganbakat.
9. Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dengantulus.
10. Kerja adalah hidup. Hidup diabdikan
dan diisi untuk dandengan kerja;
11. Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan
syukur.
12. Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati
dan jangandicemarkan.
D. Pengertian Budaya Kerja
Ada
satu hal yang menarik ketika berbicara budaya kerja. Sepertinya ada kesimpulan
internasional yang senada atau sama seputar budaya kerja. Budaya kerja adalah sesuatu yang invisible
(tak kelihatan) yang paling terkait dengan soal kinerja atau performansi.
Kesimpulan ini memang tidak dibikin secara mengada-ada. Sudah banyak fakta atau
bukti yang memperkuat kesimpulan itu.
Budaya kerja adalah suatu falsafah
yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat,
kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok
masyarakat atau organisasi, tercermin dari sikap menjadi prilaku, kepercayaan,
cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ”kerja” atau ”bekerja”.
Menurut
hasil penelitian Prof. Yu She Wei di Cina, seperti dikutip Pak Sartono (Five Actions To Drive Change On Demand: 2006),
budaya kerja ternyata punya kontribusi
besar terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Ketika organisasi A
ingin meningkatkan produktivitasnya dan yang dilirik hanya pada faktor
peningkatan keahlian orang-orangnya saja, hasilnya baru 1. Jika ditambah dengan
perbaikan SOP, hasilnya 10.Tetapi, jika ditambah dengan perbaikan budaya kerja
(disatukan), hasilnya menjadi 100. Fantastis, kan?
Menurut Budhi
Paramita dalam tulisannya berjudul ”Masalah
Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia”, budaya kerja dapat dibagi
menjadi :
1. Sikap
terhadap pekerjaan, yakni
kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti bersantai,
semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri atau merasa
terpaksa melakukan sesuatu untuk kelangsungan hidupnya.
2. Perilaku
pada waktu bekerja,
seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, cermat, kemauan
yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama
karyawan atau sebaliknya.
Selanjutnya oleh Profesor
Emil P. Bolongaita, JR dari Asian Institute of Management menyatakan
bahwa pada masa globalisasi ini sebaiknya pemerintah mampu mengakomodasikan
pengalaman manajemen pemerintahan dengan pengalaman pengelolaan bisnis &memperlakukan masyarakat sebagai pelanggan (customer).Kombinasi
upaya pengelolaan
seperti tersebut mendorong ide yang disebut Total Quality Governance (TQG) dengan beberapa prinsip
sebagai berikut:
1.
mempertemukan
tuntutan masyarakat dan kemampuan pemerintahan
2.
mekanisme
kerja yang berorientasi pada pasar;
3.
mengaktualisasikan
misi lebih penting dari pada mengatur;
4.
fokus kerja
pada hasil/keluaran (barang/jasa) bukan masukan;
5.
upaya lebih
banyak mencegah daripada memperbaiki/mengobati;
6.
mengutamakan
kerja partisipatif/gotong-royong;
7.
melakukan
kerjasama, koordinasi dan kemitraan.
E. Tujuan dan Manfaat Budaya Kerja
Melaksanakan
Budaya Kerja mempunyai arti yang sangat dalam karena bertujuan merubah sikap dan prilaku SDM untuk mencapai produktivitas
kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan.
Manfaat yang didapat dalam melaksanakan Budaya Kerja antara lain sebagai berikut :
1. Menjamin hasil kerja dengan kualitas yang
lebih baik.
2. Membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotong-royongan,
kekeluargaan.
3. Menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki.
4. Cepat menyesuaikan diri dengan
perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial,
ekonomi, dan lain-lain).
5. Mengurangi laporan berisi data dan
informasi yang salah dan palsu.
6. Kepuasan kerja meningkat.
7. Pergaulan yang lebih akrab.
8. Disiplin meningkat.
9. Terciptanya semangat ”Learning
Organization”
10. Efektivitas dan Efisiensi meningkat.
F. Budaya Kerja dalam Organisasi
Sjafri
Mangkuprawira (2009)
menyatakan bahwa Budaya kerja dalam organisasi seperti di perusahaan
diaktualisasikan sangat beragam. Bisa dalam bentuk dedikasi/loyalitas, tanggung jawab, kerjasama, kedisiplinan, kejujuran,
ketekunan, semangat, mutu kerja, keadilan, dan integritas kepribadian.
Semua bentuk aktualisasi budaya kerja itu sebenarnya bermakna komitmen yaitusuatu tindakan, dedikasi, dan kesetiaan seseorang pada janji yang telah
dinyatakannya untuk memenuhi tujuan organisasi dan individunya.
Bentuk
komitmen karyawan bisa diujudkan antara lain dalam beberapa hal sebagai
berikut.
1.
Komitmen
dalam mencapai visi,misi, dan tujuan organisasi.
2.
Komitmen
dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur kerja standar organisasi.
3.
Komitmen
dalam mengembangkan mutu sumberdaya manusia bersangkutan dan mutu produk.
4.
Komitmen
dalam mengembangkan kebersamaan tim kerja secara efektif dan efisien.
5.
Komitmen
untuk berdedikasi pada organisasi secara kritis dan rasional.
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajad komitmen
adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik karyawan bersangkutan.Faktor-faktor intrinsik karyawan dapat
meliputi aspek-aspek kondisi sosial
ekonomi keluarga karyawan, usia, pendidikan, pengalaman kerja, kestabilan
kepribadian, dan gender. Sementara faktor-ekstrinsik yang dapat mendorong
terjadinya derajad komitmen tertentu antara lain adalah keteladanan pihak manajemen khususnya manajemen puncak dalam
berkomitmen di berbagai aspek organisasi. Selain itu juga dipengaruhi
faktor-faktor manajemen rekrutmen dan
seleksi karyawan, pelatihan dan pengembangan, manajemen kompensasi, manajemen
kinerja, manajemen karir, dan fungsi kontrol atasan dan sesama rekan kerja.
Faktor ekstrinsik di luar organisasi antara lain aspek-aspek budaya, kondisi perekonomian makro, kesempatan kerja, dan
persaingan kompensasi.
Menegakkan komitmen berarti mengaktualisasikan
budaya kerja secara total. Kalau sebagian dari karyawan ternyata berkomitmen rendah maka berarti ada
gangguan terhadap budaya. Karena itu sosialisasi dan internalisasi budaya kerja
sejak karyawan masuk ke perusahaan seharusnya menjadi program utama. Selain itu
pengembangan sumberdaya manusia karyawan utamanya yang menyangkut kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial
harus menjadi prioritas disamping ketrampilan teknis. Dukungan
fungsi-fungsi manajemen sumberdaya manusia lainnya tidak boleh diabaikan. Kalau
tidak diprogramkan secara terencana, maka pengingkaran pada komitmen sama saja
memperlihatkan adanya kekeroposan suatu organisasi. Penurunan kredibilitas atau
kepercayaan terhadap karyawan pada gilirannya akan mengakibatkan hancurnya
kredibilitas perusahaan itu sendiri. Dan ini akan memperkecil derajad loyalitas
pelanggan dan mitra bisnis kepada perusahaan tersebut.
BAB II
BUDAYA KERJA ORGANISASI
PEMERINTAH
Masalah
mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja itu merupakan
tugas berat yang ditempuh secara utuh menyeluruh dalam waktu panjang karena
menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku serta peradaban
bangsa.
Budaya
kerja aparatur negara dapat diawali dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, institusi, atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang
melaksanakan.Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat
mempengaruhi pengembangan budaya kerja. Di samping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu
diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu
bagi peningkatan pelayanan masyarakat.
Untuk
mengimplementasikannya diperlukan perbaikan
persepsi, pola pikir, dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan
menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan perkembangan ilmu dan
teknologi.
Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya
Kultur Birokrasi Pemerintah”, untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain
terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas
yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap
dan perilaku serta motivasi kerja. Dengan pengembangan budaya kerja yang
tinggi, terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin,
hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan
teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Dalam
reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang andal dan
profesional efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan
global yang merupakan landasan kokoh bagi Indonesia menuju civil society yang
demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing serta bersih dalam penyelenggaraan
negara.
Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan
profesional harus ditindaklanjuti dengan beberapa strategi antara lain :
1. Perampingan
birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah di setiap tingkat,
rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi, dan
privatisasi;
2. Pengembangan sistem dan metode kerja
aparatur;
3. Penerapan sistem merit dalam
manajemen PNS;
4. Penerapan sistem remunerasi PNS yang
layak dan adil;
5. Pencegahan dan
pemberantasan KKN;
6. penyempurnaan
sistem dan peningkatan pelayanan publik yang berkualitas.
Strategi
tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang
memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien di
antaranya:
1.
penataan peran dan kelembagaan
pemerintah dengan sasaran terwujudnya organisasi pemerintahan yang ramping,
efektif, dan efisien yang dapat mendukung peran serta masyarakat dan dunia
usaha dalam pembangunan yang berdaya saing tinggi di tingkat nasional dan
global.
2.
pengaturan tata laksana pemerintahan
dengan sasaran terbentuknya mekanisme, prosedur, hubungan, metode, dan tata
kerja aparatur negara yang tertib dan efektif.
3.
peningkatan kapasitas sumber daya
manusia dengan sasaran hadirnya pegawai negeri sipil yang proporsional, netral,
dan dapat mempertanggungjawabkan keputusan serta tindakannya.
4.
pemberantasan KKN dengan sasaran
tampilnya aparatur negara yang bebas KKN dan kinerja instansi pemerintah yang
accountable.
5.
peningkatan kualitas pelayanan publik
dengan sasaran terwujudnya pelayanan publik yang sederhana, transparan, tepat,
terjangkau, lengkap, wajar, serta adil.
Diharapkan
dengan strategi dan langkah-langkah konkret dimaksud dapat meningkatkan
kepercayaan dan kepuasan publik terhadap performance, baik instansi maupun
pejabat publik, pada gilirannya dapat mendekatkan pemerintah dengan masyarakat
serta terjalin aliansi atau linkage antara institusi negara, masyarakat, dan
sektor swasta. Aliansi antara ketiga pilar tersebut (pemerintah, masyarakat,
dan kalangan swasta) diperlukan untuk menghindari sikap dan perilaku aparat
pemerintah terjebak dalam pola birokrasi yang kaku eksklusif dan kebebasan
berkreasi.
Semangat
reformasi birokrasi yang menjadi harapan masyarakat seyogyanya memotivasi
setiap pengambil kebijakan pada instansi pemerintah mana pun, baik di pusat
maupun di daerah agar memiliki kemauan dan keberanian secara moral dan politik,
untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada terwujudnya good
governance yang dapat mendukung kelancaran dan keterpaduan tugas dan fungsi
penyelenggaraan pemerintah secara demokratis.
Akhirnya,
komitmen untuk memperkuat kebijakan pemerintah dalam mewujudkan birokrasi
profesional yang telah menjadi agenda nasional, seiring dengan tuntutan
demokratisasi dan globalisasi, sangat memerlukan konsistensi dan kontinuitas
perjuangan baik oleh pemerintah, masyarakat, dan kalangan dunia usaha tanpa
tergantung kepada siapa yang memegang kendali pemerintahan.
B. Permasalahan Budaya Kerja
Organisasi Pemerintah
Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah
terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan
sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja.
Menurut Feisal Tamin (2004), secara umum dapat dikatakan
bahwa birokrasi pemerintahan belumlah efektif dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional dan profesional,
hampir 50% PNS belum produktif, efisien, dan efektif, ditinjau dari aspek
kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan pengawasan, sebagai berikut :
1.
Dari
sisi kelembagaan, masih terjadi duplikasi atau overlapping; bentuk organisasi
belum berbentuk piramidal, akan tetapi masih berbentuk piramida terbalik.
2.
Dilihat
dari kepegawaian juga masih terjadi pengalokasian PNS yang tidak profesional
antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. PNS
lebih didominasi oleh golongan II dan I (hampir 70%) dari total pegawai.
3.
Dilihat dari ketatalaksanaan dan
pelayanan publik, terjadi sistem prosedur pelayanan yang belum transparan,
berbelit-belit dan terjadi praktik KKN. Oleh karena itu komitmen mewujudkan
birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti.
4.
Dalam hal pengawasan dan akuntabilitas
aparatur, masih terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Masih
banyak terjadi praktik KKN antara lain disebabkan:
1.
masih
banyak peraturan perundang-undangan yang memberi peluang terjadinya praktik KKN
dan perlu ditinjau kembali.
2.
budaya
minta dilayani menjadi budaya melayani masyarakat memerlukan waktu untuk
diubah.
3.
rendahnya tingkat disiplin masyarakat
dan tingkat disiplin aparatur, dan
4.
belum berfungsinya secara baik aparat
pengawas fungsional pemerintah termasuk aparat penegak hukum.
Berbagai
masalah Budaya Kerja dalam Organisasi Pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam
Pedoman Pengembangan Aparatur Negara yang diterbitkan oleh Kementerian PAN-RI
(2002), dapat diidentifikasikan, antara lain sebagai berikut :
1.
Komunitas
dan kosistensi terhadap visi dan misi organisasi masih rendah;
2.
Sering
terjadi penyimpangan dan kesalahan dalam kebijakan publik yang berdampak luas
kepada masyarakat;
3.
Pelaksanaan
kebijakan jauh berbeda dari yang diharapkan;
4.
Terjadi
arogansi pejabat dan penyalahgunaan kekuasaan;
5.
Pelaksanaan
wewenang dan tanggungjawab aparatur saat ini belum belum seimbang;
6.
Dalam
praktek di lapangan sulit dibedakan antara ikhlas dan tidak ikhlas, jujur dan
tidak jujur;
7.
Pejabat
yang KKN akan menyebabkan KKN meluas pada pegawai, dunia usaha dan masyarakat;
8.
Gaji
pegawai yang rendah / kecil dibandingkan dengan harga barang/jasa lainnya;
9.
Banyak
aparatur yang integritas, loyalitas dan profesionalnya rendah;
10.
Belum
ada sistem merit yang jelas untuk mengukur kinerja pegawai dan tindak lanju
hasil penilaiannya;
11.
Kreativitas
karyawan kurang mendapat perhatian atasan;
12.
Kepekaan
terhadap keluhan masyarakat dinilai masih rendah;
13.
Sikap
yang berorientasi vertikal menyebabkan hilangnya kreativitas, rasa takut
berimprovisasi;
14.
Budaya
suap bukan hal yang rahasia, sehingga dapat sehingga dapat mempengaruhi sikap
dan tingkah laku pimpinan dalam bekerja;
15.
Ada
kecenderungan para pemimpin tidak mau mengakui kesalahannya di depan bawahan;
16.
Masing-masing
bekerja sesuai dengan uraian tugas yang ada dan belum optimal untuk bekerjasama
dengan unit lain;
17.
Sifat
individualisme lebih menonjol dibandingkan kebersamaan;
18.
Tidak
ada sanksi yang jelas dan tegas jika pegawai melanggar aturan;
19.
Budaya
KKN yang menjiwai sebagian aparat;
20.
Tingkat
kesejahteraan yang kurang memadai;
21.
Pengaruh
budaya prestise yang lebih menonjol, sehingga aspek rasionalitas sering
dikesampingkan;
22.
Sistem
seleksi (rekruitmen) yang masih kurang transparan;
23.
Tidak
berani tegas, karena khawatir mendapat reaksi yang negatif;
24.
Banyak
aparatur belum memahami makna keadilan dan keterbukaan.
Berbagai
permasalahan Budaya Kerja dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan baik pada
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah masih ditemukan. Berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi
belum mendapat hasil yang optimal.
C. Aspek Budaya Aparatur Pemerintah
Lingkungan aparatur pemerintah
sangat diharapkan dapat menciptakan
dan mengembangkan sistem nilai berupa
disiplin nasional agar menjadi kebiasaan hidup di dalam dan di luar pelaksanaan
tugas
dan
tanggung jawabnya
sebagai
unsur aparatur pemerintah maupun
sebagai
anggota masyarakat.
Di dalam
penggarisan GBHN disiplin nasional diartikan suatu sikap mental
bangsa yang tercermin
dalam pembuatan
atau
tingkah
laku berupa kepatuhan dan ketaatan, baik
secara sadar
maupun melalui pembinaan terhadap norma-norma kehidupan yang berlaku dengan keyakinan
bahwa dengan norma-norma
tersebut tujuan nasional dapat dicapai. Dengan kata lain, esensi disiplin nasional adalah kepatuhan
dan ketaatan terhadap aspirasi dan cita-cita nasional, ideologi
negara, dan UUD 1945, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan juga tanggung jawab sosial.
Di dalam kepatuhan dan
ketaatan itu
secara
konkret
berarti
adanya kesediaan untuk mematuhi,
menghormati, dan adanya kemampuan melaksanakan suatu sistem nilai
yang mengharuskan seseorang
tunduk
pada putusan, perintah,
atau peraturan yang berlaku di masyarakat, khususnya di lingkungan kerja masing- masing. Dengan
kata
lain, disiplin nasional tidak mungkin
terwujud
tanpa
disiplin pribadi berupa kebiasaan yang melekat pada
diri seseorang, tidak
terkecuali
bagi para aparatur pemerintah secara perseorangan.
Disiplin pribadi di
dalam kehidupan sosial
budaya
Indonesia tampak dipengaruhi oleh kepemimpinan. Sehubungan dengan itu, masalah
keteladanan menjadi sangat penting. Keteladanan pimpinan berkenaan dengan
dedikasi, disiplin,
keterbukaan, sikap lugas,
dan keberanian bertindak dalam menyelesaikan
masalah penyelewengan,
penyimpangan, penyalahgunaan, wewenang, dan lain-lain
tindakan tak terpuji.
Terdapat beberapa aspek budaya yang berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tugas bagi
aparatur pemerintah sehingga kurang dapat berjalan secara efektif dan efisien, yaitu:
1. Budaya paternalisme yaitu
sikap yang terlalu
berorientasi ke atas, akibatnya
bawahan bekerja lebih
menyenangi menunggu perintah dari
atasan,
sedangkan kreativitas,
inisiatif berkurang bahkan
cenderung dimatikan. Budaya ini
perlu dikurangi agar tidak berkelebihan, yaitu dengan cara sebagai berikut:
o Pemimpin perlu mengembangkan pola proses pengambilan keputusan
bersama (group decision process) tanpa mengurangi wewenangnya
dalam mengambil keputusan.
o Bila perlu
pengarahan dikurangi dan diganti dengan
pola pemecahan masalah (problem solving
oriented) sehingga
setiap petugas merasa ikut bertanggung jawab pada setiap masalah
organisasi/unit kerjanya.
2. Budaya manajemen
tertutup yang artinya bahwa
pemimpin merasa sebagai penguasa yang tidak perlu mengikutsertakan bawahannya
sehingga
timbul sikap saling curiga-mencurigai,
tidak
percaya, dan prasangka
yang
kurang menguntungkan dan lain-lain.
Yang berakibat pekerjaan secara efektif dan efisien.
3. Budaya kurang mampu membedakan
jam kerja dan jam dinas, urusan pribadi dan urusan
kedinasan. Untuk itu disiplin kerja
dan disiplin waktu perlu dibina dan ditingkatkan, dengan mengurangi kebiasaan yang tidak tepat pada jam kerja.
4. Budaya atau kebiasaan memberikan tanggung jawab tak berimbang,
terlalu banyak pekerjaan dan tanggung jawab kepada seseorang
yang aktif dan berprestasi dan kurang percaya terhadap yang belum memperoleh kesempatan untuk aktif dan berprestasi.
5. Budaya sistem famili dan koneksi di lingkungan aparatur pemerintah, mengakibatkan pengangkatan pegawai dan pembinaan karier kurang memperhatikan
profesionalisme dan
prestasi. Budaya ini ditunjang lagi oleh kebiasaan berupa
kecenderungan pilih kasih (like
and
dislike) dalam pembinaan
dan
pengembangan
karier
dan
penempatan
seorang
pegawai.
Kondisi ini
harus segera ditiadakan mengingat semakin
pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi
yang memerlukan personil yang berkualitas
di lingkungan aparatur pemerintah.
6. Budaya asal bapak senang (ABS) yaitu budaya di
dalam memberikan informasi/laporan kepada pimpinan dengan penuh rekayasa hal demikian
dilakukan biasanya untuk menutupi
kekurangan/kelemahan atau
kegagalan dalam bekerja,
tetapi juga karena rasa takut pada pimpinan dan sifat
senang dipuji atau rasa kurang senang dikoreksi oleh atasannya.
Budaya
ini akan berakibat mempersulit
pelaksanaan pengawasan dan
pembinaan dan bimbingan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja.
7. Budaya
tidak
senang
diperiksa, dalihnya
adalah
“pengawasan
cenderung bersifat mencari-cari kesalahan”. Pengawasan hendaknya dikembangkan sebagai usaha membantu
pihak yang diawasi untuk
menyadari kekurangan
dan kelemahannya disertai dorongan untuk memperbaiki melalui usaha
sendiri. Setiap aparatur
pemerintah hendaknya menyadari bahwa
kegiatan pengawasan adalah pekerjaan
yang rutin dan wajar yang tidak perlu ditakuti
perasaan takut dan tidak menyukai pengawasan itu hanya
dapat dihindari jika setiap aparatur pemerintah
mengembangkan
kebiasaan bekerja
sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
berani karena benar takut karena salah.
Masih banyak budaya yang tersirat dalam adat
istiadat, kebiasaan, hubungan
kemasyarakatan, dan lain-lain yang ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan kegiatan setiap unsur manajemen.
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh
pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan
pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi,
tercermin dari sikap menjadi prilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan
tindakan yang terwujud sebagai ”kerja” atau bekerja”.
Prinsip Budaya Kerja adalah (1) Budaya Kerja merupakan mata rantai
proses, dimana tiap kegiatan berkaitan dengan proses lainnya atau suatu hasil
pekerjaan merupakan suatu masukan bagi proses pekerjaan lainnya; (2) Budaya
kerja berupaya merubah budaya komunikasi tradisional menjadi prilaku manajemen
modern sehingga tertanam kepercayaan dan semangat kerjasama yang tinggi serta
disiplin.
Dalam
pembukaan UUD 1945 alinea ke empat termuat
PANCASILA yang luhur yang terkandung di dalamnya merupakan cermin dari
nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat.Dalam menghadapi tantangan apapun,
hakekat nilai-nilai luhur tersebut tidak bisa berubah, yang berubah adalah nilai-nilai instrumental yang
disesuaikan dengan perkembangan lingkungan.
Nilai Budaya Kerja adalah pilihan nilai-nilai moral dan etika yang
dianggap baik dan positif meliputi nilai sosial budaya positif yang relefan,
norma atau akidah, etika dan nilai kinerja produktif yang bersumber dari
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Nilai Budaya Kerja yang melekat
pada kebijakan yaitu Nilai Budaya Kerja yang tercantum dalam Perundangan
Negara Republik Indonesia.
Wawasan tugas organisasi pemerintah merupakan pemahaman terhadap wawasan /
pandangan kondisi terhadap lingkungan kerja yang mempengaruhi organisasi / unit
kerja baik internal maupun eksternal. Untuk memahami wawasan tugas organisasi
pemerintah, harus memahami visi dan misi organisasi.
Cara kerja
yang berkualitas yaitu cara kerja baru yang lebih efektif dan efisien, lebih
demokratis dan terbuka, lebih rasional dan fleksibel dan lebih bersifat
terdesentralisasi.
Perubahan
sangat penting dalam pelaksanaan Program Budaya Kerja, sehingga masalah Budaya
Kerja itu terletak pada diri kita masing-masing. Oleh karena itu kita harus memiliki komitmen
yang kuat untuk melakukan perubahan berdasar
pada empat potensi kemampuan umat manusia karunia Tuhan YME, yaitu : (1)
kesadaran diri, (2) hati nurani, (3) kehendak bebas dan (4) imajinasi kreatif
Program pertama yang harus dilakukan oleh setiap Kelompok
Budaya Kerja (KBK) adalah menyusun program 5-S yang mencakup :Sort,
yaitu disusun pekerjaan yang tergolong penting; Systematize, yaitu disusun secara teratur;Sweep, yaitu membersihkan
ruangan dan meja; Standardize, yaitu dibuat secara standar agar mudah; dan Self-Discipline, yaitu mendisiplinkan diri tidak perlu
diingatkan.
Kondisi
budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya
Kultur Birokrasi Pemerintah”,untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain
terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk
perubahan sikap dan perilaku serta
motivasi kerja.
Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya
nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga
melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja.
Berbagai permasalahan Budaya Kerja dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah masih ditemukan. Berbagai upaya
telah dilakukan, akan tetapi belum mendapat hasil yang optimal.
B. Implikasi
Dengan memahami Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, diharapkan
peserta mampu menerapkan prinsip-prinsip budaya kerja organisasi Pemerintah,
yaitu : (1)
Budaya Kerja merupakan mata rantai proses, dimana tiap kegiatan
berkaitan dengan proses lainnya atau suatu hasil pekerjaan merupakan suatu
masukan bagi proses pekerjaan lainnya; (2) Budaya kerja berupaya merubah budaya
komunikasi tradisional menjadi prilaku manajemen modern sehingga tertanam
kepercayaan dan semangat kerjasama yang tinggi serta disiplin.
C. Tindak Lanjut
Implementasi penerapan Budaya Kerja Organisasi
Pemerintah oleh peserta Diklat harus dilaksanakan pada unit kerja
masing-masing, dengan demikian diharapkan kedepan Aparatur Pemerintah akan
menjadi Abdi Negara dan Abdi Masyarakat yang sebenarnya dan Organisasi
Pemerintah dapat menjadi organisasi yang berbudaya sehingga memungkinkan orang-orang dapat
berintegrasi dalam pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
BP-7
Pusat. 1993. Kepemimpinan
Pancasila, BP-7 Pusat, Jakarta
Covey, Stephen R. 1993.The Seven Habits of Highly Effective People, Simon & Schuster.Inc.
Djatmiko,
Yayat Hayati, Prof. Dr. 2004. Perilaku Organisasi, Alfabeta, Bandung.
Gering Supriyadi, Drs. MM. Dan Tri Guno, Drs. LLM, 2006. ”Budaya
Kerja Organisasi Pemerintah”, LAN, Jakarta.
Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang AKIP
Kementrian
PAN-RI. 2002.Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta.
Kementrian
PAN-RI. 2004. Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta.
Koentjaraningrat,
1974. Kebudayaan Mentalitet dan
Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
Osada,
Takashi. 1995. Sikap Kerja 5-S.
Terjemahan, Pustaka Binaman Pressindo..
Senge,
Peter,. 1990.The Fifth Disciplines,
published by Magellan Group.
Stephen Covey.
1994.First Thing First, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Susilo Martoyo, 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi 3, BPFE,
Yogyakarta.
Terry, George R..2003.Prinsip-prinsip Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta.
Taliziduhu
Ndraha, ”Budaya Organisasi”, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar