Rabu, 27 November 2013

budaya kerja



PERMASALAHAN BUDAYA KERJA  DALAM PRAKTEK PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN


A.      Latar Belakang

Reformasi birokrasi yang sedang dilakuntut dikembangkannya model dan kreasi penerapan budaya kerja bagi jajaran aparatur negara, sehingga bisa mengubah pola piker (mindset) mereka, dan pada gilirannya mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat..
Budaya kerj sudah lama dikenal oleh umat manusia,  tetapi belum disadari bahwa suatu keberhasilan kerja itu berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaannya. Nilai-nilai yang telah menjadi kebiasaan tersebut dinamakan  Budaya.  Oleh  karena  budaya  tersebut  dikaitkan  dengan  mutu/kualitas kerja, hal tersebut dinamakan Budaya Kerja. Budaya kerja merupakan  suatu komitmen  organisasi  yang luas dalam  upaya membangun  sumber  daya manusia,  proses kerja,  dan hasil kerja yang lebih baik. Untuk mencapai tingkat kualitas yang semakin baik tersebut diharapkan bersumber dari setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri. Setiap fungsi atau proses   kerja   mempunyai   perbedaan   cara   kerja,   yang   akan   mengakibatkan berbedanya  nilai-nilai  yang  cocok  untuk  diambil  dalam  kerangka  kerja  organisasi.
Konsep  budaya  kerja  menjadi  terkenal  setelah  Jepang  mencapai  tingkat kemajuan yang tinggi dalam melakukan manajemen kualitas yang berakar dan bersumber dari budaya yang dimiliki bangsa Jepang dikombinasikan  dengan teknik- teknik manajemen modern pada tahun 1970-an. Semangat membangun kembali perekonomian  Jepang  setelah  kalah  perang  mendorong  bangsa  Jepang  mencari cara-cara baru untuk bekerja lebih baik agar dapat menghasilkan  produk yang lebih baik pula. Keberhasilan Jepang membangun perekonomiannya mendorong keinginan bangsa-bangsa  lain untuk meniru dan mengembangkan  sendiri cara-cara yang dilakukan  bangsa Jepang sesuai dengan budaya yang mereka miliki dengan nama yang beraneka ragam, seperti Total Quality Management (TQM), Total Quality Control,  Quality  Assurance,  Value  Added  Management,  Work Improvement  Team, dan lain-lain.
 Dengan menerapkan manajemen kualitas budaya kerja tersebut, bermunculan negara-negara  industri baru seperti  Korea Selatan,  Taiwan,  Hongkong,  Singapore, Thailand, Malaysia, dan Indonesia di Benua Asia. Budaya kerja memiliki peranan yang luas, seperti halnya manajemen, baik manajemen   SDM   ataupun   manajemen   keuangan   dan   sebagainy dalam   hal membangun  sebuah organisasi  yang kokoh dan kuat yang mampu bertahan hidup dalam menghadapi masa-masa perubahan dan penuh persaingan seperti sekarang ini.
Peningkatan perekonomian yang pernah terjadi di Indonesia karena pemerintah menjalankan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi serta sebagian kecil di sektor swasta telah menjalankan program Pengendalian Mutu Terpadu (PMT) sejak pertengahan 1985, terutama yang mempunyai induk perusahaan di Jepang. Program Pengendalian Mutu Terpadu (PMT) telah berkembang disektor swasta,namun kurang mengakar, sehingga kurang mantap keberadaannya.

B. Pengertian Budaya
Kata Budaya dalam pengertian harfiah, sering diterjemahkan istilah bahasa Inggris yaitu Culture yang berasal dari bahasa Latin Colore yang berarti mengerjakan tanah, mengelola dan memelihara ladang (Soerjanto Puspowardoyo, 1993). Pengertian ini jelas berbau agraris pada masa tersebut dan kemudian diterapkan kedalam hal-hal yang bersifat rohani (Langeveld, 1993).Oleh Ashley Montague dan Christopher Dawson (1993) mengartikan culture sebagai way of life atau cara hidup tertentu dengan memancarkan identitas suatu bangsa tertentu. Istilah culture ini sering diterjemahkan menjadi kebudayaan atau peradaban.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan.   Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan cipta manusia mengembangkan kemampuan alam pikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menggunakan panca inderanya yang menimbulkan karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga berkembanglah kehidupan beragama dan kesusilaan.
Menurut Ki Hajar Dewantara: “Kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat”. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, :“Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia;
2.      kebudayaan itu tidak diturunkan secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar; dan
3.      kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya menurut J.J. Hoenigman,wujud kebudayaanadalah:
1.        Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.
2.        Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusialainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
3.        Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
C. Pengertian Kerja
Menurut Faisal Tamin (2004),  pada hakikatnya  bekerja merupakan bentuk atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya, di samping itu bekerja juga merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan.
Pengertian kata kerja dapat diidentifikasikan dengan berbagai pernyataan sebagai berikut :
1.      Kerja adalah hukuman. Untuk bisa hidup manusiaharus bekerja kerascari makan. Salah satu bentukhukuman adalah kerja paksa;
2.      Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja adalah beban.
3.      Kerja adalah kewajiban. Dalam sistem birokrasi atau sistemkontraktual, kerja adalah kewajiban.
4.      Kerja adalah sumber penghasilan. Kerjasebagai sumber nafkah merupakan anggapan dasarmasyarakat umumnya;
5.      Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan.
6.      Kerja adalah gengsi, prestise. Kerja sebagai gengsiberkaitan dengan status sosial dan jabatan;
7.      Kerja adalah aktualisasi diri. Kerja di sini dikaitkan denganperan, cita-cita atau ambisi;
8.      Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja di sini berkaitan denganbakat.
9.      Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dengantulus.
10.  Kerja adalah hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dandengan kerja;
11.  Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur.
12.  Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati dan jangandicemarkan.

D.  Pengertian Budaya Kerja
Ada satu hal yang menarik ketika berbicara budaya kerja. Sepertinya ada kesimpulan internasional yang senada atau sama seputar budaya kerja. Budaya kerja adalah sesuatu yang invisible (tak kelihatan) yang paling terkait dengan soal kinerja atau performansi. Kesimpulan ini memang tidak dibikin secara mengada-ada. Sudah banyak fakta atau bukti yang memperkuat kesimpulan itu.
Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, tercermin dari sikap menjadi prilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ”kerja” atau ”bekerja”.
Menurut hasil penelitian Prof. Yu She Wei di Cina, seperti dikutip Pak Sartono (Five Actions To Drive Change On Demand: 2006), budaya kerja ternyata punya kontribusi besar terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Ketika organisasi A ingin meningkatkan produktivitasnya dan yang dilirik hanya pada faktor peningkatan keahlian orang-orangnya saja, hasilnya baru 1. Jika ditambah dengan perbaikan SOP, hasilnya 10.Tetapi, jika ditambah dengan perbaikan budaya kerja (disatukan), hasilnya menjadi 100. Fantastis, kan?
Menurut Budhi Paramita dalam tulisannya berjudul ”Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia”, budaya kerja dapat dibagi menjadi :
1.      Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti bersantai, semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri atau merasa terpaksa melakukan sesuatu untuk kelangsungan hidupnya.
2.      Perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama karyawan atau sebaliknya.
Selanjutnya oleh Profesor Emil P. Bolongaita, JR dari Asian Institute of Management menyatakan bahwa pada masa globalisasi ini sebaiknya pemerintah mampu mengakomodasikan pengalaman manajemen pemerintahan dengan pengalaman pengelolaan bisnis &memperlakukan masyarakat sebagai pelanggan (customer).Kombinasi upaya pengelolaan seperti tersebut mendorong ide yang disebut Total Quality Governance (TQG) dengan beberapa prinsip sebagai berikut:
1.         mempertemukan tuntutan masyarakat dan kemampuan pemerintahan
2.         mekanisme kerja yang berorientasi pada pasar;
3.         mengaktualisasikan misi lebih penting dari pada mengatur;
4.         fokus kerja pada hasil/keluaran (barang/jasa) bukan masukan;
5.         upaya lebih banyak mencegah daripada memperbaiki/mengobati;
6.         mengutamakan kerja partisipatif/gotong-royong;
7.         melakukan kerjasama, koordinasi dan kemitraan.

E.  Tujuan dan Manfaat Budaya Kerja
Melaksanakan Budaya Kerja mempunyai arti yang sangat dalam karena bertujuan merubah sikap dan prilaku SDM untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan.
Manfaat yang didapat dalam melaksanakan Budaya Kerja antara lain sebagai berikut :
1.      Menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik.
2.      Membuka seluruh jaringan komunikasi,  keterbukaan, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan.
3.      Menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki.
4.      Cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi, dan lain-lain).
5.      Mengurangi laporan berisi data dan informasi yang salah dan palsu.
6.      Kepuasan kerja meningkat.
7.      Pergaulan yang lebih akrab.
8.      Disiplin meningkat.
9.      Terciptanya semangat ”Learning Organization”
10.  Efektivitas dan Efisiensi meningkat.

F.  Budaya Kerja dalam Organisasi
Sjafri Mangkuprawira (2009) menyatakan bahwa Budaya kerja dalam organisasi seperti di perusahaan diaktualisasikan sangat beragam. Bisa dalam bentuk dedikasi/loyalitas, tanggung jawab, kerjasama, kedisiplinan, kejujuran, ketekunan, semangat, mutu kerja, keadilan, dan integritas kepribadian. Semua bentuk aktualisasi budaya kerja  itu sebenarnya bermakna komitmen yaitusuatu tindakan, dedikasi, dan kesetiaan seseorang pada janji yang telah dinyatakannya untuk memenuhi tujuan organisasi dan individunya.
Bentuk komitmen karyawan bisa diujudkan antara lain dalam beberapa hal sebagai berikut.
1.         Komitmen dalam mencapai visi,misi, dan tujuan organisasi.
2.         Komitmen dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur kerja standar organisasi.
3.         Komitmen dalam mengembangkan mutu sumberdaya manusia bersangkutan dan mutu produk.
4.         Komitmen dalam mengembangkan kebersamaan tim kerja secara efektif dan efisien.
5.         Komitmen untuk berdedikasi pada organisasi secara kritis dan rasional.
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajad komitmen adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik karyawan bersangkutan.Faktor-faktor intrinsik karyawan dapat meliputi aspek-aspek kondisi sosial ekonomi keluarga karyawan, usia, pendidikan, pengalaman kerja, kestabilan kepribadian, dan gender. Sementara faktor-ekstrinsik yang dapat mendorong terjadinya derajad komitmen tertentu antara lain adalah keteladanan pihak manajemen khususnya manajemen puncak dalam berkomitmen di berbagai aspek organisasi. Selain itu juga dipengaruhi faktor-faktor manajemen rekrutmen dan seleksi karyawan, pelatihan dan pengembangan, manajemen kompensasi, manajemen kinerja, manajemen karir, dan fungsi kontrol atasan dan sesama rekan kerja. Faktor ekstrinsik di luar organisasi antara lain aspek-aspek budaya, kondisi perekonomian makro, kesempatan kerja, dan persaingan kompensasi.
Menegakkan komitmen berarti mengaktualisasikan budaya kerja secara total. Kalau sebagian dari karyawan ternyata berkomitmen rendah maka berarti ada gangguan terhadap budaya. Karena itu sosialisasi dan internalisasi budaya kerja sejak karyawan masuk ke perusahaan seharusnya menjadi program utama. Selain itu pengembangan sumberdaya manusia karyawan utamanya yang menyangkut kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial harus menjadi prioritas disamping ketrampilan teknis. Dukungan fungsi-fungsi manajemen sumberdaya manusia lainnya tidak boleh diabaikan. Kalau tidak diprogramkan secara terencana, maka pengingkaran pada komitmen sama saja memperlihatkan adanya kekeroposan suatu organisasi. Penurunan kredibilitas atau kepercayaan terhadap karyawan pada gilirannya akan mengakibatkan hancurnya kredibilitas perusahaan itu sendiri. Dan ini akan memperkecil derajad loyalitas pelanggan dan mitra bisnis kepada perusahaan tersebut.



















BAB II

BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH

A.   Pelaksanaan Budaya Kerja Organisasi Pemerintah
Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja itu merupakan tugas berat yang ditempuh secara utuh menyeluruh dalam waktu panjang karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku serta peradaban bangsa.
Budaya kerja aparatur negara dapat diawali dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, institusi, atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakan.Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja. Di samping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat
Untuk mengimplementasikannya diperlukan perbaikan persepsi, pola pikir, dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya Kultur Birokrasi Pemerintah”, untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja.  Dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi, terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Dalam reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang andal dan profesional efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan global yang merupakan landasan kokoh bagi Indonesia menuju civil society yang demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing serta bersih dalam penyelenggaraan negara.
Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti dengan beberapa strategi antara lain :
1.     Perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah di setiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi, dan privatisasi;
2.     Pengembangan sistem dan metode kerja aparatur;
3.     Penerapan sistem merit dalam manajemen PNS;
4.     Penerapan sistem remunerasi PNS yang layak dan adil;
5.     Pencegahan dan pemberantasan KKN;
6.     penyempurnaan sistem dan peningkatan pelayanan publik yang berkualitas.
Strategi tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien di antaranya:
1.        penataan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran terwujudnya organisasi pemerintahan yang ramping, efektif, dan efisien yang dapat mendukung peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan yang berdaya saing tinggi di tingkat nasional dan global.
2.        pengaturan tata laksana pemerintahan dengan sasaran terbentuknya mekanisme, prosedur, hubungan, metode, dan tata kerja aparatur negara yang tertib dan efektif.
3.        peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan sasaran hadirnya pegawai negeri sipil yang proporsional, netral, dan dapat mempertanggungjawabkan keputusan serta tindakannya.
4.        pemberantasan KKN dengan sasaran tampilnya aparatur negara yang bebas KKN dan kinerja instansi pemerintah yang accountable.
5.        peningkatan kualitas pelayanan publik dengan sasaran terwujudnya pelayanan publik yang sederhana, transparan, tepat, terjangkau, lengkap, wajar, serta adil.
Diharapkan dengan strategi dan langkah-langkah konkret dimaksud dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan publik terhadap performance, baik instansi maupun pejabat publik, pada gilirannya dapat mendekatkan pemerintah dengan masyarakat serta terjalin aliansi atau linkage antara institusi negara, masyarakat, dan sektor swasta. Aliansi antara ketiga pilar tersebut (pemerintah, masyarakat, dan kalangan swasta) diperlukan untuk menghindari sikap dan perilaku aparat pemerintah terjebak dalam pola birokrasi yang kaku eksklusif dan kebebasan berkreasi.
Semangat reformasi birokrasi yang menjadi harapan masyarakat seyogyanya memotivasi setiap pengambil kebijakan pada instansi pemerintah mana pun, baik di pusat maupun di daerah agar memiliki kemauan dan keberanian secara moral dan politik, untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada terwujudnya good governance yang dapat mendukung kelancaran dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah secara demokratis.
Akhirnya, komitmen untuk memperkuat kebijakan pemerintah dalam mewujudkan birokrasi profesional yang telah menjadi agenda nasional, seiring dengan tuntutan demokratisasi dan globalisasi, sangat memerlukan konsistensi dan kontinuitas perjuangan baik oleh pemerintah, masyarakat, dan kalangan dunia usaha tanpa tergantung kepada siapa yang memegang kendali pemerintahan.

B.   Permasalahan Budaya Kerja Organisasi Pemerintah
Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja.
Menurut Feisal Tamin (2004), secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan belumlah efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional dan profesional, hampir 50% PNS belum produktif, efisien, dan efektif, ditinjau dari aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan pengawasan, sebagai berikut :
1.        Dari sisi kelembagaan, masih terjadi duplikasi atau overlapping; bentuk organisasi belum berbentuk piramidal, akan tetapi masih berbentuk piramida terbalik.
2.        Dilihat dari kepegawaian juga masih terjadi pengalokasian PNS yang tidak profesional antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. PNS lebih didominasi oleh golongan II dan I (hampir 70%) dari total pegawai.
3.        Dilihat dari ketatalaksanaan dan pelayanan publik, terjadi sistem prosedur pelayanan yang belum transparan, berbelit-belit dan terjadi praktik KKN. Oleh karena itu komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti.
4.        Dalam hal pengawasan dan akuntabilitas aparatur, masih terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Masih banyak terjadi praktik KKN antara lain disebabkan:
1.         masih banyak peraturan perundang-undangan yang memberi peluang terjadinya praktik KKN dan perlu ditinjau kembali.
2.         budaya minta dilayani menjadi budaya melayani masyarakat memerlukan waktu untuk diubah.
3.         rendahnya tingkat disiplin masyarakat dan tingkat disiplin aparatur, dan
4.         belum berfungsinya secara baik aparat pengawas fungsional pemerintah termasuk aparat penegak hukum.
Berbagai masalah Budaya Kerja dalam Organisasi Pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Pengembangan Aparatur Negara yang diterbitkan oleh Kementerian PAN-RI (2002), dapat diidentifikasikan, antara lain sebagai berikut :
1.         Komunitas dan kosistensi terhadap visi dan misi organisasi masih rendah;
2.         Sering terjadi penyimpangan dan kesalahan dalam kebijakan publik yang berdampak luas kepada masyarakat;
3.         Pelaksanaan kebijakan jauh berbeda dari yang diharapkan;
4.         Terjadi arogansi pejabat dan penyalahgunaan kekuasaan;
5.         Pelaksanaan wewenang dan tanggungjawab aparatur saat ini belum belum seimbang;
6.         Dalam praktek di lapangan sulit dibedakan antara ikhlas dan tidak ikhlas, jujur dan tidak jujur;
7.         Pejabat yang KKN akan menyebabkan KKN meluas pada pegawai, dunia usaha dan masyarakat;
8.         Gaji pegawai yang rendah / kecil dibandingkan dengan harga barang/jasa lainnya;
9.         Banyak aparatur yang integritas, loyalitas dan profesionalnya rendah;
10.     Belum ada sistem merit yang jelas untuk mengukur kinerja pegawai dan tindak lanju hasil penilaiannya;
11.     Kreativitas karyawan kurang mendapat perhatian atasan;
12.     Kepekaan terhadap keluhan masyarakat dinilai masih rendah;
13.     Sikap yang berorientasi vertikal menyebabkan hilangnya kreativitas, rasa takut berimprovisasi;
14.     Budaya suap bukan hal yang rahasia, sehingga dapat sehingga dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku pimpinan dalam bekerja;
15.     Ada kecenderungan para pemimpin tidak mau mengakui kesalahannya di depan bawahan;
16.     Masing-masing bekerja sesuai dengan uraian tugas yang ada dan belum optimal untuk bekerjasama dengan unit lain;
17.     Sifat individualisme lebih menonjol dibandingkan kebersamaan;
18.     Tidak ada sanksi yang jelas dan tegas jika pegawai melanggar aturan;
19.     Budaya KKN yang menjiwai sebagian aparat;
20.     Tingkat kesejahteraan yang kurang memadai;
21.     Pengaruh budaya prestise yang lebih menonjol, sehingga aspek rasionalitas sering dikesampingkan;
22.     Sistem seleksi (rekruitmen) yang masih kurang transparan;
23.     Tidak berani tegas, karena khawatir mendapat reaksi yang negatif;
24.     Banyak aparatur belum memahami makna keadilan dan keterbukaan.

Berbagai permasalahan Budaya Kerja dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah masih ditemukan.  Berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi belum mendapat hasil yang optimal.



C. Aspek Budaya Aparatur Pemerintah

Lingkungan  aparatur pemerintah  sangat diharapkan  dapat menciptakan  dan mengembangkan  sistem nilai berupa disiplin nasional agar menjadi kebiasaan hidup di  dalam  dan  di  luar  pelaksanaan  tugas  dan  tanggung  jawabnya  sebagai  unsur aparatur  pemerintah  maupun  sebagai  anggota  masyarakat.  Di dalam  penggarisan GBHN  disiplin nasional  diartikan suatu sikap mental bangsa yang tercermin  dalam pembuatan  atau  tingkah  laku  berupa  kepatuhan  dan ketaatan,  baik  secara  sadar maupun melalui pembinaan terhadap norma-norma kehidupan yang berlaku dengan keyakinan  bahwa  dengan  norma-norma  tersebut  tujuan  nasional  dapat  dicapai. Dengan kata lain, esensi disiplin nasional adalah kepatuhan dan ketaatan terhadap aspirasi dan cita-cita nasional, ideologi negara, dan UUD 1945, serta peraturan perundang-undangan  lainnya yang merupakan juga tanggung jawab sosial.
Di   dalam   kepatuhan   dan   ketaatan   itu   secara   konkret   berarti   adanya kesediaan  untumematuhi,  menghormati,  dan adanya kemampuan  melaksanakan suatu sistem  nilai yang  mengharuskan  seseorang  tunduk  pada  putusan,  perintah, atau peraturan yang berlaku di masyarakat, khususnya di lingkungan kerja masing- masing.  Dengan  kata  lain,  disiplin  nasional  tidak  mungkin  terwujud  tanpa  disiplin pribadi  berupa  kebiasaan  yang melekat  pada diri seseorang,  tidak  terkecuali  bagi para aparatur pemerintah secara perseorangan.
Disiplin   pribadi   di   dalam   kehidupan   sosial   budaya   Indonesia   tampak dipengaruhi  oleh  kepemimpinan.   Sehubungan  dengan  itu,  masalah  keteladanan menjadi sangat penting. Keteladanan  pimpinan berkenaan dengan dedikasi, disiplin, keterbukaan,  sikap lugas, dan keberanian bertindak dalam menyelesaikan  masalah penyelewengan,  penyimpangan, penyalahgunaan,  wewenang, dan lain-lain tindakan tak terpuji.

Terdapat beberapa aspek budaya yang berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tugas bagi aparatur pemerintah sehingga kurang dapat berjalan secara efektif dan efisien, yaitu:
1.   Budaya paternalisme  yaitu sikap yang terlalu berorientasi ke atas, akibatnya bawahan   bekerj lebih   menyenangi   menungg perintah   dari   atasan, sedangkan   kreativitas,   inisiatif   berkurang   bahkan   cenderung   dimatikan. Budaya ini perlu dikurangi agar tidak berkelebihan, yaitu dengan cara sebagai berikut:
o        Pemimpin perlu mengembangkan pola proses pengambilan keputusan bersama (group decision process) tanpa mengurangi wewenangnya dalam mengambil keputusan.
o        Bila perlu pengarahan dikurangi dan diganti dengan pola pemecahan masalah (problem solving oriented) sehingga setiap petugas merasa ikut bertanggung jawab pada setiap masalah organisasi/unit kerjanya.

2.   Budaya manajemen  tertutup  yang artinya bahwa pemimpin merasa sebagai penguasa  yang  tidak  perlu mengikutsertakan  bawahannya  sehingga  timbul sikap  saling  curiga-mencurigai,  tidak  percaya,  dan prasangka  yang  kurang menguntungkan  dan lain-lain.  Yang  berakibat  pekerjaan  secara  efektif  dan efisien.
3.   Budaya kurang mampu membedakan jam kerja dan jam dinas, urusan pribadi dan urusan kedinasan. Untuk itu disiplin kerja dan disiplin waktu perlu dibina dan ditingkatkan,  dengan mengurangi  kebiasaan  yang tidak tepat pada jam kerja.
4.   Budaya atau kebiasaan  memberikan  tanggung  jawab tak berimbang,  terlalu banyak pekerjaan dan tanggung jawab kepada seseorang yang aktif dan berprestasi dan         kurang percaya            terhadap           yang     belum             memperoleh kesempatan untuk aktif dan berprestasi.

5. Budaya sistem famili dan koneksi di lingkungan aparatur pemerintah, mengakibatkan pengangkatan pegawai dan pembinaan karier kurang memperhatikan  profesionalisme  dan prestasi.  Budaya ini ditunjang lagi oleh kebiasaan   berupa   kecenderungan   pili kasih   (like   and   dislike)   dalam pembinaan  dan  pengembangan  karier  dan  penempatan  seorang  pegawai.

Kondisi            ini         harus    segera   ditiadakan        mengingat        semakin pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang memerlukan personil yang berkualitas di lingkungan aparatur pemerintah.

6. Budaya asal bapak senang (ABS) yaitu budaya di dalam memberikan informasi/laporan kepada pimpinan dengan penuh rekayasa hal demikian dilakukan  biasanya  untuk menutupi  kekurangan/kelemahan  atau kegagalan dalam bekerja, tetapi juga karena rasa takut pada pimpinan dan sifat senang dipuji atau rasa  kurang  senang  dikoreksi  oleh atasannya.  Budaya  ini akan berakibat   mempersulit   pelaksanaan   pengawasan   dan   pembinaan   dan bimbingan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja.

7.   Budaya  tidak  senang  diperiksa,             dalihnya  adalah  “pengawasan  cenderung bersifat mencari-cari kesalahan”. Pengawasan hendaknya dikembangkan sebagai usaha membantu  pihak yang diawasi untuk menyadari  kekurangan dan  kelemahannya   disertai  dorongan   untuk  memperbaiki   melalui  usaha sendiri. Setiap aparatur pemerintah hendaknya menyadari bahwa kegiatan pengawasan  adalah pekerjaan yang rutin dan wajar yang tidak perlu ditakuti perasaan takut dan tidak menyukai pengawasan itu hanya dapat dihindari jika setiap   aparatur   pemerintah   mengembangkan   kebiasaan   bekerja   sesuai dengan ketentuan  dan peraturan perundang-undangan  yang berlaku, berani karena benar takut karena salah.
Masih banyak budaya yang tersirat dalam adat istiadat, kebiasaan, hubungan kemasyarakatan, dan lain-lain yang ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan kegiatan setiap unsur manajemen.










BAB VII
PENUTUP

A.      Kesimpulan

Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, tercermin dari sikap menjadi prilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ”kerja” atau bekerja”.
Prinsip  Budaya Kerja adalah  (1) Budaya Kerja merupakan mata rantai proses, dimana tiap kegiatan berkaitan dengan proses lainnya atau suatu hasil pekerjaan merupakan suatu masukan bagi proses pekerjaan lainnya; (2) Budaya kerja berupaya merubah budaya komunikasi tradisional menjadi prilaku manajemen modern sehingga tertanam kepercayaan dan semangat kerjasama yang tinggi serta disiplin.
Dalam pembukaan UUD 1945  alinea ke empat termuat PANCASILA yang luhur yang terkandung di dalamnya merupakan cermin dari nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat.Dalam menghadapi tantangan apapun, hakekat nilai-nilai luhur tersebut tidak bisa berubah, yang berubah  adalah nilai-nilai instrumental yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan.
Nilai Budaya Kerja adalah pilihan nilai-nilai moral dan etika yang dianggap baik dan positif meliputi nilai sosial budaya positif yang relefan, norma atau akidah, etika dan nilai kinerja produktif yang bersumber dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Nilai Budaya Kerja yang melekat pada kebijakan yaitu Nilai Budaya Kerja yang tercantum dalam Perundangan Negara Republik Indonesia.
Wawasan tugas organisasi pemerintah merupakan pemahaman terhadap wawasan / pandangan kondisi terhadap lingkungan kerja yang mempengaruhi organisasi / unit kerja baik internal maupun eksternal. Untuk memahami wawasan tugas organisasi pemerintah, harus memahami visi dan misi organisasi.
Cara kerja yang berkualitas yaitu cara kerja baru yang lebih efektif dan efisien, lebih demokratis dan terbuka, lebih rasional dan fleksibel dan lebih bersifat terdesentralisasi.
Perubahan sangat penting dalam pelaksanaan Program Budaya Kerja, sehingga masalah Budaya Kerja itu terletak pada diri kita masing-masing.  Oleh karena itu kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan berdasar pada empat potensi kemampuan umat manusia karunia Tuhan YME, yaitu : (1) kesadaran diri, (2) hati nurani, (3) kehendak bebas dan (4) imajinasi kreatif
Program pertama yang harus dilakukan oleh setiap  Kelompok Budaya Kerja (KBK) adalah menyusun program 5-S yang mencakup :Sort,  yaitu disusun pekerjaan yang tergolong penting; Systematize, yaitu disusun secara teratur;Sweep,  yaitu membersihkan ruangan dan meja; Standardize,  yaitu dibuat secara standar agar mudah; dan Self-Discipline,  yaitu mendisiplinkan diri tidak perlu diingatkan.
Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya Kultur Birokrasi Pemerintah”,untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja.
Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja.
Berbagai permasalahan Budaya Kerja dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah masih ditemukan.  Berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi belum mendapat hasil yang optimal.

B.       Implikasi
Dengan memahami Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, diharapkan peserta mampu menerapkan prinsip-prinsip budaya kerja organisasi Pemerintah, yaitu :  (1)  Budaya Kerja merupakan mata rantai proses, dimana tiap kegiatan berkaitan dengan proses lainnya atau suatu hasil pekerjaan merupakan suatu masukan bagi proses pekerjaan lainnya; (2) Budaya kerja berupaya merubah budaya komunikasi tradisional menjadi prilaku manajemen modern sehingga tertanam kepercayaan dan semangat kerjasama yang tinggi serta disiplin.

C.      Tindak Lanjut
Implementasi penerapan Budaya Kerja Organisasi Pemerintah oleh peserta Diklat harus dilaksanakan pada unit kerja masing-masing, dengan demikian diharapkan kedepan Aparatur Pemerintah akan menjadi Abdi Negara dan Abdi Masyarakat yang sebenarnya dan Organisasi Pemerintah dapat menjadi organisasi yang berbudaya sehingga memungkinkan orang-orang dapat berintegrasi dalam pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi.




















DAFTAR PUSTAKA

BP-7 Pusat.  1993.   Kepemimpinan Pancasila, BP-7 Pusat, Jakarta
Covey, Stephen R. 1993.The Seven Habits of Highly Effective People, Simon & Schuster.Inc.
Djatmiko, Yayat Hayati, Prof. Dr.  2004. Perilaku Organisasi,  Alfabeta, Bandung.
Gering Supriyadi, Drs. MM. Dan Tri Guno, Drs. LLM,  2006. ”Budaya Kerja  Organisasi Pemerintah”,  LAN, Jakarta.
Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang AKIP
Kementrian PAN-RI.  2002.Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara,  Jakarta.
Kementrian PAN-RI.  2004.  Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara,  Jakarta.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
Osada, Takashi. 1995. Sikap Kerja 5-S. Terjemahan, Pustaka Binaman Pressindo..
Senge, Peter,. 1990.The Fifth Disciplines, published by Magellan Group.
Stephen Covey. 1994.First Thing First, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Susilo Martoyo, 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta.
Terry, George R..2003.Prinsip-prinsip Manajemen, Bumi Aksara,  Jakarta.
Taliziduhu Ndraha, ”Budaya Organisasi”, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar