Kebudayaan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa manusia dalam perjalanan sejarahnya dimulai dari yang paling sederhana, berkembang, dan maju terus setahap demi setahap sampai pada yang kompleks dan modern seperti sekarang ini.
Budaya adalah buah pemikiran, akal budi dan daya (kekuatan, kemampuan, atau potensi). Budaya dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi objek (hasil pemikiran/kerja/karya manusia) dan kedua dari sisi sosial kemasyarakatan (moral, nilai, adat istiadat atau aturan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat/organisasi dan sukar diubah).
Dalam ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keterkaitan antara pola pikir, perilaku, dan artefak pada suatu kelompok etnik tertentu. Konsep ini kemudian dipinjam oleh ilmu manajemen dan diberlakukan pada kelompok kerja (bukan etnik).
Menurut Edgar H. Schein, budaya adalah suatu pola dari asumsi dasar ketika kelompok telah mengetahui bahwa asumsi itu dapat memecahkan masalah dalam melakukan adaptasi ekstern dan integrasi intern, dan telah berjalan dengan baik serta dinyatakan sebagai hal yang benar. Oleh karena itu perlu diajarkan kepada anggota kelompok yang baru bahwa ini merupakan cara yang benar untuk dihayati, dipikirkan, dan dirasakan dan dilaksanakan. Asumsi dasar tersebut berupa kebersamaan yang meliputi: a. kebersamaan atas sesuatu (shared-things), misalnya pakaian seragam; b. kebersamaan perkataan (shared-saying), misalnya ungkapan, semboyan; c. kebersamaan dalam perbuatan (shared-doing), misalnya kerja bakti, gotong royong;
d. kebersamaan dalam perasaan (shared-feeling), misalnya ucapan ulang tahun, belasungkawa.
Pola pikir (falsafah, kepercayaan, keyakinan, tahayul) adalah acuan utama yang dijadikan pedoman perilaku oleh seluruh anggota kelompok. Dalam bahasa psikologinya, disebut kognisi yang berisi belief, attitude, superego, dan sebagainya,yang terdapat dalam diri orang per orang. Perilaku setiap orang dalam kelompok itu akan selalu mengacu pada pola pikir tersebut, sementara semua benda yang dibuat dan digunakan anggota kelompok (mulai alat rumah tangga sampai kelengkapan bersembahyang) disebut artefak. Ketiga unsur kebudayaan ini tidak dapat dilepaskan satu dari yang lain karena pada hakikatnya ketiganya merupakan kesatuan. Orang Amerika dan orang Cina mempunyai pola pikir yang berbeda dalam hal makan, sehingga cara makan (perilaku) dan makanan serta alat makannya (artefak) juga sangat berbeda. Orang Amerika makan beef steak dengan pisau dan garpu, sedangkan orang Cina makan bakmi berkuah dengan sumpit dan menghirup kuahnya langsung dari mangkuk. Cara makan orang Cina bisa dianggap tidak sopan bagi orang Amerika, sementara cara makan orang Amerika sangat merepotkan bagi orang Cina.
Akan tetapi tidak berarti bahwa orang Amerika tidak bisa diajari untuk makan cara Cina atau sebaliknya. Individu-individu dari kedua kelompok etnik itu bisa saling mempelajari perilaku etnik yang lain dan mempraktikkannya dengan menggunakan artefaknya, tetapi tidak harus mengadopsi kebudayaannya itu sendiri. Dengan demikian di Jakarta, pengusaha Taiwan menggunakan pisau dan garpu ketika makan beef steak di restoran internasional, sementara pengusaha Amerika makan dengan sumpit di restoran Cina. Bahkan tidak jarang restoran yang menyediakan pisau-garpu dan sumpit sekaligus untuk memungkinkan tamu-tamunya memilih sendiri cara makan yang disukainya.
Sederet contoh dapat dikemukakan tentang perilaku penyesuaian (adaptasi) yang tidak diikuti oleh perubahan pola pikir budaya itu sendiri. Misalnya: orang Indonesia bisa antre di luar negeri, tetapi tidak antre begitu kembali di negeri sendiri; orang bisa tepat waktu ketika mau berangkat dengan pesawat terbang atau menonton bioskop, tetapi terlambat datang ke sekolah atau kantor. Begitu juga (sudah menjadi rahasia umum), turis Arab di Jakarta minum bir dan minta disediakan wanita, tetapi kembali alim di negerinya sendiri. Sebaliknya, "senakal-nakal"-nya orang Indonesia, akan sangat alim ketika naik haji di Arab Saudi, tetapi kembali "nakal" begitu pulang ke Indonesia. Demikian pula tumpukan sajadah (salah satu artefak dalam kebudayaan Islam) tidak bermakna apa-apa bagi orang yang tidak terbiasa sholat (salah satu perilaku muslim), tetapi akan dicari-cari (kalau perlu meminjam atau membeli ke toko terdekat) oleh seseorang yang ingin sholat ketika waktu sholat tiba.Sumber budaya yang pertama berasal dari hati dan pikiran manusia, yang kedua dari kesadaran dan kerelaan manusia. Sementara pelaku budaya adalah manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat/organisasi.
Fungsi dan kegunaan budaya adalah sebagai berikut : a) Identitas dan citra suatu masyarakat.
Fungsi dan kegunaan budaya adalah sebagai berikut : a) Identitas dan citra suatu masyarakat.
b) Pengikat suatu masyarakat atau organisasi.
c. Sumber inspirasi, kebanggaan, dan sumber daya. d) Kekuatan penggerak/dinamisator.
e. Kemampuan untuk membentuk nilai tambah. f) Pola perilaku
g) Warisan dari leluhur.
h.)Substitusi formalitas (pengganti perintah formal).
Mekanisme adaptasi terhadap perubahan.
c. Sumber inspirasi, kebanggaan, dan sumber daya. d) Kekuatan penggerak/dinamisator.
e. Kemampuan untuk membentuk nilai tambah. f) Pola perilaku
g) Warisan dari leluhur.
h.)Substitusi formalitas (pengganti perintah formal).
Mekanisme adaptasi terhadap perubahan.
j) Proses terjadinya bangsa sehingga sama dengan negara.
Tingkat budaya adalah sebagai berikut.
Tingkat budaya adalah sebagai berikut.
1) Tingkat pertama (Artifac), yaitu produk/barang, jasa dan tingkah laku anggota masyarakat. Sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan jika seseorang berhubungan dengan suatu kelompok/masyarakat baru dengan budaya yang tidak dikenalnya.
2) Tingkat kedua (espoused value), yaitu nilai-nilai yang didukung dengan alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi/masyarakat untuk mendukung caranya melakukan sesuatu.
3) Tingkat ketiga (basic assumptions), yaitu keyakinan yang dianggap sudah ada oleh suatu anggota organisasi/masyarakat (sumber nilai, persepsi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar