Minggu, 16 September 2012

Saksi bisu dalam perjalanan Sejarah Kota Purwakarta


Kota Purwakarta berawal dari kota tradisional dengan kedudukan sebagai ibukota Kabupaten Karawang. Kedudukan dan nama kota itu diresmikan tanggal 20 Juli 1831. Dalam perjalanan sejarahnya Purwakarta berangsur-angsur ber-kembang menjadi kota modern. Sampai saat ini kota Purwakarta telah berusia 174 tahun (1831 – 2005).
Dalam usianya yang sangat tua itu, kota Purwakarta masih memiliki “saksi bisu” yang menyertai perjalanan panjang sejarah kota sampai sekarang. “Saksi bisu” dimaksud khususnya adalah Pendopo, Bumi Ageung, Situ Buleud, Masjid Agung, Gedung Keresidenan, Gedung Kembar, dan Stasion Kereta Api. Bangunan-bangunan dan tempat itu, kecuali Bumi Ageung, merupakan sarana dan fasilitas kota yang menujukkan eksistensi dan perkembangan kota Purwakarta. Pendopo, Bumi Ageung, Situ Buleud, dan Masjid Agung, merupakan “tonggak” sejarah kota Purwakarta, karena dibangun bersamaan dengan berdirinya kota itu, dan keberadaannya masih dapat disaksikan sampai sekarang. Tiga sarana yang disebut terakhir (dibangun pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abag ke-20) merupakan “saksi bisu” perkembangan kota Purwakarta menuju kota modern. Sarana dan fasilitas tersebut memiliki fungsi dan makna penting, baik bagi kegiatan pemerintahan maupun bagi kehidupan sosial budaya.
            Berdasarkan usia dan fungsinya, sarana dan fasilitas tersebut adalah bangunan tua dan tempat (benda) budaya. Pada bagian akhir pemerintahan Hindia Belanda, bangunan-bangunan kuno dan benda budaya mendapat perhatian besar dari pemerintah kolonial. Hal itu dibuktikan dengan pembuatan sekaligus pemberlakuan Monumenten Ordonantie Nomor 19 Tahun 1931 (kemudian diubah menjadi Monumenten Ordonantie Nomor 21 Tahun 1934), yaitu undang-undang perlindungan bangunan-bangunan tua dan benda budaya lainnya. Undang-undang tersebut diwarisi oleh Pemerintah Republik Indonesia, kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB).
            Sangat disayangkan, sekarang kesadaran pemerintah dan masyarakat umumnya untuk merealisasikan undang-undang tersebut, masih rendah. Undang-undang itu belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Hal itu dibuktikan oleh kurangnya perhatian terhadap bangunan-bangunan tua yang tidak difungsikan sebagai kantor instansi pemerintah. Boleh jadi hal itu disebabkan oleh kurangnya kesadaran sejarah pada bangsa kita.
            Bila dipahami secara seksama, sesungguhnya bangunan tua dan tempat bersejarah, selain merupakan Benda Cagar Budaya, juga merupakan objek wisata. Oleh karena itu, sangatlah tepat apabila bangunan-bangunan tua dan tempat bersejarah di kota Purwakarta, dipelihara dan dilestarikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992, tanpa dipermasalahkan, siapa/pihak mana yang berjasa mendirikannya. Walaupun sebagian besar bangunan itu didirikan oleh pihak kolonial, sekarang sudah menjadi milik kita bangsa Indonesia. Perlu dipahami, bahwa kumpulan bangunan tua dalam suatu lingkungan binaan, pada hakekatnya merupakan keindahan suatu kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar